Jihad sebagai penguat perjuangan lingkungan

JIHAD SEBAGAI PENGUAT PERJUANGAN LINGKUNGAN

MANSURNI ABADI

( PENGURUS ECODEEN INDONESIA) 


Dalam konteks Islam,persoalan lingkungan sebenarnya sama pentingnya dengan permasalahan lain meskipun masih kurang membumi dikalangan umat islam kebanyakan.  Padahal, menurut Kang Dhani, sapaan akrab dari Ali Ramdhani, Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM Kemenag dalam seminar khusus untuk ekoteologi pada akhir Juli lalu, yang menyatakan bahwa jumlah korban dari perubahan iklim jauh lebih banyak daripada korban peperangan.

Tentu saja pernyataan beliau yang rilis di islami.co itu bukan bermaksud menegasi penderitaan korban perang, melainkan mendorong kita untuk menilai semua bentuk krisis kemanusiaan sama-sama memiliki urgensi, apalagi menurut, Seyyed Hossein Nasr, seorang filsuf asal iran yang dianggap mencetuskan diskursus ekoteologi Islam diera modern dalam bukunya berjudul "Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man", yang ditulis pada tahun 1967 menegaskan jika persoalan melestarikan ekosistem alam merupakan salah satu kewajiban terpenting seorang Muslim.

Seyyed Hossein Nasr mendasarkan urgensi terkait pentingnya kontribusi umat muslim dalam perlindungan lingkungan tersebut didasarkan pada dua  dimensi, pada dimensi pertama berkaitan dengan aspek spiritual, sebagaimana yang dijelaskan oleh Fahmi et al (2023) j keterhubungan antara semua makhluk hidup sebagai bagian dari  tatanan ilahi yang memiliki nilai spiritual yang harus dilindungi. oleh karena itu, Bagi Seyyed Hossein Nasr, hanya dengan mengakui dimensi spiritual alam kita dapat mencapai hubungan yang harmonis dengan lingkungan sembari mengatasi krisis ekologi.

Pada dimensi kedua, berkaitan dengan ajaran didalam   didalam Al-Quran, dan hadis yang menekankan upaya perlindungan lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab Manusia sebagai khalifah-nya Allah SWT,  sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 30, di mana Allah SWT menyatakan akan menjadikan manusia bukan semata-mata untuk menyembahnya namun juga  untuk mengelola dan memelihara ciptaan-Nya dengan amanah, tanggung jawab, dan keadilan.

Idealnya, sebagai khilafah maka umat muslim selain harus melakukan  hirasatuddin (memelihara agama) juga aktif dalam siyasatuddunya (mengatur dunia) yang salah satu tindakannyaadalah menjaga lingkungan yang juga merupakan bagian integral dari prinsip-prinsip maqashid syariah yang kini sering diperluas menjadi hifz al-biah (melindungi lingkungan) sebagai maqasid tambahan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlangsungan generasi mendatang sebagai kewajiban etis, sarana holistik untuk mencapai keadilan sosial,  keberlanjutan hidup, dan kedekatan spiritual dengan Sang Pencipta.

Jadi, daripada kita menghabiskan energi keagamaan untuk mempertajam perbedaan yang justru dapat membuka kemungkinan munculnya konflik sosial, lebih baik energi keagamaan tadi diarahkan ke upaya-upaya yang dapat menolong sesama umat manusia dan alam , apalagi melalui jalan jihad yang ekologis, sebuah istilah yang populer dikalangan aktivis lingkungan Muslim yang  dapat berpengaruh pada penguatan etika lingkungan yang islami, perubahan persepsi umat muslim terhadap isu lingkungan, dan penindakan terhadap masalah lingkungan (Koehrsen,2021).

Lalu, Harus Dimulai dari Manakah Eko-Jihad Itu?

Akhlak menjadi prakondisi terlaksananya eko-jihad. Islam memandang akhlak seseorang atau sekelompok masyarakat sangat menentukan bagaimana mereka berperilaku. ada banyak penegasan, panduan, peringatan, dan ganjaran terkait mereka yang berakhlak di dalam ajaran Islam, seperti dalam Surah Al-Isra ayat 70 , Allah berfirman

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ ٱلَّذِى ٱسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّآ أَضَآءَتْ مَا حَوْلَهُۥ ذَهَبَ ٱللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِى ظُلُمَٰتٍ لَّا يُبْصِرُونَ

Artinya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

Pandangan terkait akhlak  sangat selaras dengan berbagai macam kajian sosiologis maupun antropologis yang menyatakan bahwa permasalahan ekologis tidak hanya soal teknis, tapi soal perilaku manusia terhadap alam yang menganggapnya sebagai objek yang harus dieksploitasi, bukan sebagai kesatuan subjek yang perlu dijaga sebagai amanah dari Allah SWT.

Sebenarnya, terkait akhlak ini, manusia pada dasarnya baik. Hanya saja, sistem sosial menjadikan mereka ke arah yang sebaliknya. dalam Shahih Muslim 4807

 صحيح مسلم ٤٨٠٧: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ وَأَبَوَاهُ بَعْدُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ فَإِنْ كَانَا مُسْلِمَيْنِ فَمُسْلِمٌ كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ يَلْكُزُهُ الشَّيْطَانُ فِي حِضْنَيْهِ إِلَّا مَرْيَمَ وَابْنَهَا

Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] telah menceritakan kepada kami ['Abdul 'Aziz Ad Darawadri] dari [Al 'Ala] dari [bapaknya] dari [Abu Hurairah] bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai seorang yahudi, nasrani dan majusi (penyembah api). Apabila kedua orang tuanya muslim, maka anaknya pun akan menjadi muslim. Setiap bayi yang dilahirkan dipukul oleh syetan pada kedua pinggangnya, kecuali Maryam dan anaknya (Isa).  Hadis ini menekankan bahwa fitrah bawaan manusia adalah cenderung kepada kebenaran dan kebaikan (tauhid), tetapi pengaruh lingkungan eksternal seperti pendidikan keluarga atau budaya yang membentuk karakter seseorang, sehingga orang tua dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan mengarahkan anak ke arah yang lurus.

Kalau dikaitkan dengan lingkungan, contohnya saja, dalam ajaran agama Islam, kita dilarang untuk membuang sampah sembarangan. Namun, karena lingkungan sosial kita membiarkan bahkan membenarkan hal tersebut, kita kemudian menganggapnya sebagai kewajaran. Oleh karena itu, internalisasi ajaran Islam perlu diperkuat agar tidak mudah terbawa dengan sistem sosial yang membenarkan hal-hal yang bisa merusak ekologi.

Namun, bagaimana caranya menginternalisasi akhlak ekologis? Di sini, saya berpendapat bahwa konsep pendidikan Islam dalam lingkaran kecil atau yang sering disebut liqo bisa menjadi sarana untuk memperkuat eko-jihad, karena internalisasi tidak dapat tercipta dengan sendirinya tanpa adanya lingkungan sosial yang positif dan senantiasa membimbing. Selain itu, diperlukan juga pengarusutamaan dakwah yang berbasis ekologis.

Yang perlu dipahami juga, berjihad di jalan ekologis bukan untuk menggantikan tindakan praktis dan teknis berbasis ilmu pengetahuan, melainkan justru untuk memperkuatnya agar arah tindakan praktis dan teknis tadi tertanam nilai-nilai spiritual. Melaluinya, kebenaran Islam dapat tersebar melalui manifestasi dari umatnya yang memberi khidmat (lil khidmatin naas) dan manfaat kepada manusia (li naf'in naas) untuk menyelamatkan planet di tengah jebakan antroposentrisme yang menempatkan bumi sebagai objek yang dieksploitasi. Hal ini bahkan diperparah dengan pengaruh dari era pascasekular, di mana terjadi kemerosotan budaya ketika manusia hidup dalam dunia yang memukau (enchanted) dan dunia yang menjenuhkan (disenchanted) sebagai produk sekularisme.

Di era sekular, manusia akan terperangah dalam dunia yang maju, tetapi pada saat yang sama merasa kering dan sunyi. Terperangkap dalam posisi naif. Kenaifan ini seolah identik dengan keseharian. Klaim-klaim modernitas merendahkan spiritualitas dan dimensi ruhani, termasuk hubungan dengan alam yang berbasis pada nilai-nilai spiritual.


Tidak ada komentar

© Dakwahpos 2024