Ketika menyebut "kerupuk" sudah tentu sangat familiar di telinga kita. Menjadi teman makan dan ngemil, membuat kerupuk disukai dan dibeli banyak orang di warung-warung. Bahkan, pernah ada orang yang bilang bahwa ketika makan tidak sama kerupuk berasa kurang lengkap, hingga makan dengan ditemani kerupuk menjadi sebuah keharusan.
Kebetulan saya anak bungsu dari Empip atau yang kerap disapa dengan ibu Dedi. Namanya yang tak asing di telinga warga Kp. Sukajaya Rw. 10 Ds. Sukamulya Kec. Pagaden Kab. Subang ini telah merintis usaha kerupuk selama bertahun-tahun. Sepak terjang kisahnya dalam merintis usaha telah banyak dilaluinya.
Merintis usaha kerupuk hingga pernah sukses dan bangkrut
Semenjak pandemi dan kuliah daring, kegiatan saya dirumah membantu bisnis usaha kerupuk milik ibu. Sambil pengemasan kerupuk, saya bercerita dengan ibu, Selasa (16/11/2021). Awal mula bu Dedi menggeluti usaha kerupuk ini adalah bersama suaminya. Dulu bu Dedi dan bapak pernah sukses mencabangkan usaha kerupuk milik orang lain di Pekalongan hingga miliki pabrik dan produksi sendiri serta mempunyai banyak anak buah.
Dalam sejarah, ketika Soeharto menjabat sebagai presiden, Indonesia dikatakan makmur saat itu, harga-harga pada murah hingga Soeharto merupakan salah satu presiden yang paling lama berkuasa. Ibu menjelaskan lagi kenapa ia hingga bangkrut saat itu, "Dulu ibu mulai bangkrut kalau tidak salah ketika pak harto turun jabatan, dan waktu itu beli mesin kerupuk, karena cara pembuatan pake mesin belum bisa, jadi anak buah atau yang jualan pada keluar sampai habis tidak ada yang jualan," ujarnya.
Lalu apa kaitannya antara turunnya pak harto dan beli mesin kerupuk? Yang dimaksudkan oleh ibu Dedi ketika ia bangkrut, saat itu dalam kondisi presiden Soeharto turun jabatan dari presiden. Namun, penyebab kebangkrutannya adalah karena beliau membeli mesin kerupuk sedangkan penguasaan cara produksi dengan menggunakan mesin belum bisa, begitupun anak buahnya. Sehingga kemungkinan hasil produk dengan menggunakan mesin kurang maksimal dan pada akhirnya para penjual atau anak buah berhenti berjualan.
Akhirnya, pabrik pun kala itu dibangun oleh ibu dan bapak menjadi kontrakan yang terdiri dari 6 kamar. Namun, seiring berjalannya waktu mereka memutuskan untuk menjual rumah dan kontrakan karena usahanya yang sudah mulai memburuk. "Rumah ibu yang luas dan kontrakan dijual ke bandar kain," ungkapnya.
Merantau ke Subang
Usai perjalanan usahanya di Pekalongan bangkrut, bu Dedi dan bapak merantau ke Subang dan kembali menggeluti usaha kerupuk. Bapak sebagai pedagang dengan pemasokan kerupuk ke warung-warung. Sedangkan ibu Dedi menjual kerupuk di Pasar pada pagi hari pukul 01.00-07.00 WIB. Kala itu bapak membantu ibu berjualan di Pasar dan setelahnya bapak istirahat sejenak kemudian dilanjutkan pergi berdagang.
Tahun 2014, bapak meninggal dunia. Ibu Dedi pun harus merintis usahanya sendiri dan Ia tetap berjualan kerupuk di Pasar. Ibu menjual kerupuk milik orang lain dan labanya dari satu ikat kerupuk hanya seribu rupiah. Namun, hidup dan berjuang sendiri tanpa sosok laki-laki dalam mencari rezeki memang terasa berbeda dalam segi penghasilannya, "beda kalo udah ga punya suami mah," ungkapnya.
Ibu Dedi berhenti jualan kerupuk di Pasar
Kala itu, ibu Dedi pernah mempunyai jongko (istilah dari tempat jualan) sendiri di pasar ketika masih merintis jualan bersama bapak. Tapi karena faktor ekonomi dan penjualan kerupuk yang terus memburuk pasca meninggalnya bapak, akhirnya jongko itu pun dijual.
Ngontrak hingga ikut di tempat orang untuk tetap bertahan berjualan adalah pengalaman menyedihkan yang pernah ibu Dedi rasakan. Ia berjuang dan berusaha untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, "Banyak ujian dan cobaan yang dialami, pindah-pindah tempat jualan, dan harus keluar malam," tuturnya.
Akhirnya Oktober 2021 lalu, saya memutuskan kepada ibu untuk berhenti jualan kerupuk di pasar. Karena sudah belasan tahun ibu harus keluar malam untuk jualan kerupuk di pasar. Di samping efek pada kesehatan tubuh, faktor usia pun yang mempengaruhi saya untuk mengharuskan ibu berhenti jualan di Pasar.
Ibu Dedi Punya Brand Sendiri
Pasca keluar dari pasar, saya buatkan brand kerupuk untuk usahanya ibu. Dan kini ibu Dedi mempunyai brand kerupuk dengan nama Eshif. Di atasnya ditulis "aneka kerupuk" karena ibu Dedi memproduksi berbagai macam kerupuk, "Semoga dengan nama Eshif ini bisa berkah dan tambah laris di toko-toko kue," harapnya.
Di samping senang sudah mempunyai brand kerupuk sendiri, bu Dedi pun merasa lega sudah tidak berjualan lagi di pasar, "Dari dulu jualan di pasar, akhirnya bisa berhenti. Kini bisa produksi kerupuk dirumah dan ibadah juga bisa lebih tenang," ungkapnya.
Usai tak jualan di pasar lagi, ibu Dedi sekarang hanya memproduksi kerupuk dan dimasukkan ke toko-toko kue di Pasar, "Alhamdulillah pemilik toko kue semuanya membayar dengan kontan dan pemasukannya lumayan," tutupnya. Dan selama seminggu terakhir ini, pasca kerupuk menggunakan brand/merek, penjualan dan penghabisan kerupuk di toko-toko kue pun semakin signifikan.
Desy Rizqiyani, Mahasiswa KPI UIN SGD Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar