Jumat siang itu (12/9/2025), suasana di Masjid Al Jihad Rancaekek terasa lebih khidmat dari biasanya. Di tengah hiruk-pikuk kesibukan duniawi yang sering kali membuat kita lupa diri, suara Ustadz Ujang Suhendar dari atas mimbar terdengar bukan sekadar sebagai ritual mingguan, melainkan sebuah peringatan keras tentang satu hal yang paling sering kita sia-siakan: Waktu.
Mengangkat tema klasik namun menohok dari Surah Al-'Asr, khutbah tersebut seolah menjadi "jeda" yang memaksa kita berkaca. Betapa sering kita merasa sibuk, merasa produktif, namun pada hakikatnya kita sedang berjalan menuju kebangkrutan spiritual.
Paradoks Kerugian Manusia
Poin paling tajam yang disampaikan Ustadz Ujang adalah penegasan ulang sumpah Tuhan: "Demi Masa." Beliau mengingatkan bahwa status dasar manusia adalah rugi. Ini adalah konsep yang menakutkan jika kita merenunginya. Tanpa usaha sadar untuk membalikkan keadaan, kita otomatis berada dalam kerugian. Waktu terus menggerus usia kita, detak demi detak, tanpa bisa dihentikan.
Dalam paparan beliau, terungkap bahwa "tiket" untuk keluar dari zona kerugian itu tidak murah. Ia menuntut empat syarat kumulatif: Iman, Amal Saleh, serta kesediaan untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Seringkali, kita di masyarakat modern terjebak pada dua hal pertama saja—merasa cukup dengan beriman dan beramal saleh secara individu (shaleh ritual). Namun, Ustadz Ujang menekankan dimensi sosial yang sering terlupakan: kepedulian untuk meluruskan sesama (kebenaran) dan kekuatan mental untuk bertahan dalam proses (kesabaran). Tanpa dua elemen terakhir, kesalehan kita menjadi egois dan rapuh.
Waktu sebagai Amanah, Bukan Sekadar Kesempatan
Satu hal yang menggugah kesadaran dalam khutbah tersebut adalah ketika sang khatib menyebut waktu sebagai "amanah", bukan sekadar aset milik pribadi. Jika waktu adalah amanah dari Allah, maka setiap detiknya kelak akan diaudit.
"Jangan sampai kita menjadi orang yang lalai dan kufur nikmat," tegas Ustadz Ujang. Kalimat ini sederhana, tetapi relevansinya sangat kuat. Kita sering melihat kesehatan dan waktu luang sebagai hal yang lumrah, padahal itu adalah modal utama yang jika hilang, tak akan bisa dibeli kembali. Penyesalan, sebagaimana diingatkan beliau, selalu datang terlambat—ketika "kontrak" hidup kita sudah habis.
Penutup: Sebuah Evaluasi Diri
Ketika doa penutup dilantunkan untuk kaum muslimin, terselip harapan agar shalat dan ibadah kita tidak sekadar gerakan fisik, melainkan dilakukan dengan keikhlasan penuh.
Khutbah Jumat di Masjid Al Jihad ini mengajarkan kita bahwa menghargai waktu bukan berarti bekerja tanpa henti mengejar dunia. Menghargai waktu adalah mengisinya dengan bobot iman dan manfaat bagi sesama. Mari kita bertanya pada diri sendiri selepas keluar dari masjid: Apakah hari ini kita termasuk golongan yang merugi, atau golongan yang beruntung?
Tidak ada komentar
Posting Komentar