Anak Yatim dalam Perspektif Islam

Istilah anak yatim sering digunakan secara umum, namun dalam Islam memiliki batasan yang jelas. Secara syariat, anak yatim adalah anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya dan belum mencapai usia baligh. Jika seorang anak telah baligh, maka status yatimnya gugur, meskipun ayahnya telah wafat. Definisi ini ditegaskan oleh para ulama, di antaranya Imam Abu Ishaq asy-Syairazi dalam al-Muhadzdzab.

Seorang anak tetap disebut yatim walaupun ibunya masih hidup, bahkan jika masih memiliki kakek atau nenek. Sebaliknya, anak yang ditinggal wafat oleh ibunya sementara ayahnya masih hidup tidak disebut yatim, melainkan piatu. Adapun anak yang kehilangan kedua orang tuanya sebelum baligh dikenal dengan sebutan yatim piatu. Perbedaan istilah ini penting karena Islam menaruh perhatian khusus pada anak yang kehilangan ayah sebagai penanggung nafkah utama.

Islam tetap menganjurkan membantu mereka yang dahulu yatim meskipun telah dewasa. Namun, bantuan tersebut tidak lagi dikategorikan sebagai santunan yatim, melainkan sedekah atau bantuan sosial kepada pihak yang membutuhkan.

Keutamaan menyantuni anak yatim sangat besar. Rasulullah ï·º menjanjikan kedudukan yang dekat dengannya di surga bagi orang yang memelihara anak yatim, seperti dekatnya jari telunjuk dan jari tengah (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan bahwa orang yang menyayangi anak yatim dengan kelembutan dan kasih sayang akan terhindar dari siksa pada hari kiamat.

Anak yatim bukanlah kondisi yang dipilih, melainkan takdir yang harus dijalani. Kehadiran mereka di tengah masyarakat adalah kesempatan bagi kita untuk menanam amal kebaikan. Dengan memuliakan dan membahagiakan anak yatim, kita tidak hanya menjaga harapan mereka, tetapi juga membuka jalan menuju ridha dan rahmat Allah SWT.

Penulis : Sri Septia KPI/3B

Tidak ada komentar

© Dakwahpos 2024