Siapa yang Harus Nya Bertanggung Jawab di Kanjuruhan?

Kerusuhan supporter memang bukan hal aneh dan baru terjadi di Indonesia. Pada tahun 2011 kerusuhan supporter Persita dan Persikota terjadi, dan kejadian itu menewaskan 2 orang, dan pada tahun 2012 3 orang supporter Persija tewas di keroyok oleh supporter Persib Bandung, dan insiden ini bukan insiden yang terakhir yang menewaskan supporter akibat rivalitas panas antara 2 tim besar ini.Jauh meninggalkan catatan korban tahun-tahun sebelum nya, baru-baru ini terjadi tragedi Kanjuruhan yang menewaskan hingga hari ini terdaftar 125 orang. Jumlah korban tragedi Kanjuruhan hanya dikalahkan oleh kerusuhan supporter yang terjadi di Lima, Peru, pada tahun 1964. 

Potensi konflik dalam laga Persebaya dan Arema memang sangat memungkinkan terjadi kerusuhan, karena berkaca lewat pengalaman alhasil pihak penyelenggara menghibau agar supporter tim tamu yaitu Bonek Mania ( pendukung Persebaya ) agar tidak menghadiri laga tersebut di Malang. Namun kerusuhan tak dapat dihindarkan saat skor akhir pertandingan tersebut berakhir 2-3 untuk kemenangan Persebaya. Supporter Aremania spontanitas akhirnya turun ke lapangan karena tidak terima dengan hasil tersebut, kerusuhan ini berlanjut antara Aremania dengan aparat. Karena upaya penanganan oleh aparat tidak tepat, disaat supporter Aremania sedang lepas kendali, oknum aparat malah menembakan gas air mata ke posisi tribun dimana penonton yang ingin membubarkan diri malah terkena imbas nya juga.

Sampai sini bahwa yang kita ketahui penggunaan gas air mata di dalam stadion itu sudah menyalahi aturan FIFA. Dimana FIFA sebagai federasi yang menaungi persepakbolaan dunia dalam penanganan kerusuhan saat pertandingan mengenai pengamanan dan keamanan tidak memperbolehkan penggunaan gas air mata di dalam stadion. Namun aparat berdalih bahwa penggunaan gas air mata saat itu dilakukan karena terpaksa, karena aparat tidak mampu menangani kerusuhan tersebut saking banyak nya supporter aremania yang turun ke lapangan. Hal ini kemudian media menyoroti panitia penyelenggara karena tidak mampu memberikan fasilitas dan menjual tiket yang melebihi kapasitas stadion tersebut, dan berkaitan dengan jumlah penonton aparat sudah mengingatakan kepada panitia penyelenggara agar mengurangi kapasitas bahkan memindahkan laga tersebut ke sore hari. Namun dalam kenyataan nya hal tersebut tidak dapat dilakukan karena jam pertandingan sepenuhnya adalah hak dari stasiun TV.

Sampai sini mungkin memang masalah tragedi ini seperti saling lempar tanggung jawab, mau itu dari supporter, aparat, panitia penyelenggara, bahkan stasiun TV. Untuk mencegah kerusuhan supporter di Indonesia memang bukan hal yang mudah, namun tetap saja penggunaan gas air mata tetap menyalahi aturan. Panpel dan stasiun TV juga kesan nya seperti mengutamakan bisnis daripada keselamatan dan kenyamanan laga tersebut, padahal tragedi ini bisa saja terhindar bila jam tayang di pindahkan dan tiket penonton dikurangi agar stadion mempunyai ruang lebih dan keselamatan penonton lebih terjamin.

Agar hal ini tidak terulang terjadi semua pihak yaitu supporter, aparat, panitia penyelenggara, dan stasiun TV harus saling bekerja sama agar mensukseskan sebuah penyelenggaraan sepak bola. Dan faktor yang utama yaitu kedewasaan supporter itu sendiri. Karena bila berkaca dari situasi tragedi Kanjuruhan kemarin, bila seandainya supporter Aremania saat itu tidak turun, peluang terjadinya rentetan kejadian berikut nya akan lebih kecil lagi.

Oleh : Nizar Nur Ramadhan 

Tidak ada komentar

© Dakwahpos 2024