Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana alam. Sebagai negara kepulauan, Indonesia dilewati garis khatulistiwa yang menyebabkan negara ini beriklim tropis dan hanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dua musim ini dan diperparah dengan perubahan iklim yang tidak pasti membuat Indonesia rentan terhadap bencana hidrometeorologi di antaranya banjir, banjir bandang, longsor, cuaca ekstrem, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan. Biasanya, bencana hidrometeorologi diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin.
Akhir – akhir ini, dibulan oktober November dinegara Indonesia mengalami bencana seperti banjir bandang, longsor, pohon tumbang dan sebagainya. Fenomena ini terjadi disebabkan karena ada beberapa factor seperti kerusakan hutan, kerusakan pada aliran sungai, lalu perilaku manusia seperti membuang sampah tidak pada tempatnya. Mitigasi bencana banjir paling penting dan sederhana, khususnya dalam rangka mengahadapi musim penghujan yang menjadi tamu rutin setiap tahunnya ialah dengan selalu membudayakan tidak buang sampah
Kemudian, ada juga akibat lingkungan hidup yang rusak terutama pada gunung – gunung dan hutan – hutan yang sudah mulai gundul. Oleh karena itu, dampak dari banjir dan bencana lainnya berdampak juga pada lingkungan hidup kemdian juga berdampak pada kehidupan aspek ekonomi masyarakat. Salah satu contoh akibat dari bencana adalah Kota Garut yang mengalami longsor di daerah Sukawening kemudian terjadi kejadian longsor di Sukaresmi menyebabkan kerugian materil dan manusia.
Akhir ini, dibulan desember terjadi bencana alam yaitu Meletus nya gunung Semeru yang hampir sekian tahun tidak Meletus. Kerusakan nya luar biasa, ada sekitar 4 desa yang mengalami musibah, sehingga berdampak pada kematian, sawah menjadi puso, hewan ternak yang mati akibat dari abu vulkanik.
Pemulihan kawasan pascabencana harus direncanakan lebih matang, mempertimbangkan aspek kebencanaan, jejak kebencanaan pada kawasan terdampak parah, peta perkiraaan rawan bencana (kondisi geologis terkini), serta penyesuaian rencana tata ruang wilayah. Dari jejak jalur aliran hawa panas, abu vulkanik, dan lahar panas/dingin pada lokasi reruntuhan terparah menandakan kawasan tersebut masuk zona merah/berbahaya untuk hunian dan permukiman. Pengendalian tata ruang menjadi tantangan utama dalam mengurangi risiko bencana.
Pasha Salsabila Hanipa
Mahasiswa KPI UIN Suna Gunung Djati Bandung
Akhir – akhir ini, dibulan oktober November dinegara Indonesia mengalami bencana seperti banjir bandang, longsor, pohon tumbang dan sebagainya. Fenomena ini terjadi disebabkan karena ada beberapa factor seperti kerusakan hutan, kerusakan pada aliran sungai, lalu perilaku manusia seperti membuang sampah tidak pada tempatnya. Mitigasi bencana banjir paling penting dan sederhana, khususnya dalam rangka mengahadapi musim penghujan yang menjadi tamu rutin setiap tahunnya ialah dengan selalu membudayakan tidak buang sampah
Kemudian, ada juga akibat lingkungan hidup yang rusak terutama pada gunung – gunung dan hutan – hutan yang sudah mulai gundul. Oleh karena itu, dampak dari banjir dan bencana lainnya berdampak juga pada lingkungan hidup kemdian juga berdampak pada kehidupan aspek ekonomi masyarakat. Salah satu contoh akibat dari bencana adalah Kota Garut yang mengalami longsor di daerah Sukawening kemudian terjadi kejadian longsor di Sukaresmi menyebabkan kerugian materil dan manusia.
Akhir ini, dibulan desember terjadi bencana alam yaitu Meletus nya gunung Semeru yang hampir sekian tahun tidak Meletus. Kerusakan nya luar biasa, ada sekitar 4 desa yang mengalami musibah, sehingga berdampak pada kematian, sawah menjadi puso, hewan ternak yang mati akibat dari abu vulkanik.
Pemulihan kawasan pascabencana harus direncanakan lebih matang, mempertimbangkan aspek kebencanaan, jejak kebencanaan pada kawasan terdampak parah, peta perkiraaan rawan bencana (kondisi geologis terkini), serta penyesuaian rencana tata ruang wilayah. Dari jejak jalur aliran hawa panas, abu vulkanik, dan lahar panas/dingin pada lokasi reruntuhan terparah menandakan kawasan tersebut masuk zona merah/berbahaya untuk hunian dan permukiman. Pengendalian tata ruang menjadi tantangan utama dalam mengurangi risiko bencana.
Pasha Salsabila Hanipa
Mahasiswa KPI UIN Suna Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar