Pada 12 September 2025, Ustaz Ridwan mengajak jamaah untuk meneladani akhlak rendah hati Rasulullah saw. sebagai bentuk nyata dari peningkatan iman dan takwa. Menurutnya, iman bukan sekadar keyakinan yang bersemayam dalam hati, melainkan harus diwujudkan dalam perilaku, ucapan, dan tindakan. Begitu pula takwa, yang tidak cukup hanya dengan takut kepada Allah, tetapi harus dibuktikan melalui ketaatan dan pengendalian diri, baik di hadapan manusia maupun saat sendirian.
Di tengah derasnya arus modernisasi, manusia kini hidup dalam dunia yang serba cepat, penuh ambisi, dan sarat dengan pencitraan. Media sosial memaksa setiap orang untuk tampil sempurna, dunia kerja menuntut kompetisi tanpa henti, dan nilai-nilai moral sering kali dikorbankan demi pengakuan publik. Dalam situasi seperti ini, dua kata yang sering terdengar namun jarang dihayati iman dan takwa seolah kehilangan maknanya. Padahal, keduanya adalah pondasi utama dalam membangun kepribadian yang utuh dan bermartabat.
Dalam pandangan saya, seruan tersebut sangat relevan dengan realitas kehidupan saat ini. Banyak orang beriman secara formal, namun kehilangan makna spiritual di balik ibadahnya. Shalat dilakukan, tetapi tidak menghadirkan ketenangan. Sedekah diberikan, namun disertai niat mencari pengakuan. Kita seolah menjalankan agama secara ritual, tetapi tidak secara moral. Padahal, esensi iman adalah keyakinan yang melahirkan kejujuran, kasih sayang, dan rasa tanggung jawab kepada sesama.
Sementara itu, takwa merupakan bentuk kesadaran tertinggi manusia terhadap kehadiran Allah dalam setiap langkah hidupnya. Orang yang bertakwa akan berhati-hati dalam bertindak, karena ia menyadari bahwa segala perbuatannya tidak luput dari pengawasan Tuhan. Takwa bukanlah sekadar takut terhadap hukuman, melainkan rasa cinta yang membuat seseorang ingin selalu berada di jalan kebenaran. Bila iman menghidupkan hati, maka takwa menjaga agar hati itu tetap bersih dari kesombongan dan keburukan.
Ustaz Ridwan mengingatkan jamaah tentang salah satu akhlak agung Rasulullah saw., yaitu tawadhu' atau kerendahan hati. Nabi tidak pernah memandang rendah orang lain, meskipun beliau memiliki kedudukan tertinggi di antara manusia. Ia membawa barang belanjaannya sendiri, berjalan di belakang para sahabatnya, dan tidak segan menyapa lebih dulu siapa pun yang ditemuinya. Inilah bentuk nyata dari iman dan takwa yang menyatu dalam perilaku sehari-hari.
Kerendahan hati Rasulullah bukan tanda kelemahan, melainkan simbol kekuatan batin. Dalam masyarakat modern, kita sering mengartikan kekuatan sebagai dominasi dan kebanggaan diri. Padahal, sejatinya kekuatan sejati adalah kemampuan untuk menundukkan ego. Orang yang mampu bersikap rendah hati adalah orang yang menang melawan dirinya sendiri. Ia tidak butuh pengakuan, karena sudah cukup dengan ketenangan batin yang datang dari keikhlasan.
Menjadi pribadi bertakwa di era modern tentu tidak mudah. Godaan datang dari berbagai arah: dari layar gawai yang menyajikan segala bentuk kesenangan, dari budaya konsumtif yang memuja kemewahan, hingga dari sistem sosial yang sering kali menilai manusia berdasarkan status dan materi. Dalam situasi seperti ini, iman dan takwa diuji bukan melalui ujian besar, tetapi lewat hal-hal kecil seperti menahan amarah di media sosial, menjaga kejujuran di tempat kerja, dan menghormati orang lain meski berbeda pandangan.
Kerendahan hati menjadi benteng spiritual dalam menghadapi semua itu. Orang yang tawadu tidak mudah terprovokasi, tidak haus akan pujian, dan tidak merasa paling benar. Ia memahami bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bila sikap ini bisa dihidupkan kembali di masyarakat, niscaya kehidupan akan lebih damai dan beradab.
Iman dan takwa seharusnya tidak berhenti di masjid atau di saat khusyuk beribadah. Keduanya harus menjadi gaya hidup yang mempengaruhi cara kita bekerja, berinteraksi, dan bermedia sosial. Seorang pegawai yang beriman tidak akan korupsi, seorang pelajar yang bertakwa tidak akan mencontek, dan seorang pemimpin yang tawadu tidak akan menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam konteks sosial, iman dan takwa bukan hanya urusan individu, melainkan juga fondasi kehidupan bersama. Masyarakat yang beriman dan bertakwa akan melahirkan budaya saling menghormati, tolong-menolong, dan menjauhi perpecahan. Sebaliknya, ketika iman dan takwa ditinggalkan, yang muncul adalah keserakahan, kesombongan, dan ketidakadilan.
Khutbah yang disampaikan Ustaz Ridwan di Masjid Al-Masykur bukan sekadar nasihat keagamaan, tetapi juga ajakan moral yang sangat dibutuhkan di masa kini. Di tengah kehidupan yang semakin materialistis, kita perlu kembali pada nilai-nilai dasar Islam yang mengajarkan keseimbangan antara spiritual dan sosial.
Iman memberi arah, takwa memberi kekuatan, dan kerendahan hati menjaga agar keduanya tidak tercemar oleh kesombongan. Jika setiap individu mampu menanamkan nilai-nilai itu dalam diri, maka kehidupan masyarakat akan lebih harmonis dan bermartabat.
Dengan demikian, iman dan takwa bukan hanya kewajiban, tetapi kebutuhan jiwa yang membuat manusia tetap manusia, makhluk yang sadar, rendah hati, dan selalu berusaha menjadi lebih baik di hadapan Tuhannya.
Di tengah derasnya arus modernisasi, manusia kini hidup dalam dunia yang serba cepat, penuh ambisi, dan sarat dengan pencitraan. Media sosial memaksa setiap orang untuk tampil sempurna, dunia kerja menuntut kompetisi tanpa henti, dan nilai-nilai moral sering kali dikorbankan demi pengakuan publik. Dalam situasi seperti ini, dua kata yang sering terdengar namun jarang dihayati iman dan takwa seolah kehilangan maknanya. Padahal, keduanya adalah pondasi utama dalam membangun kepribadian yang utuh dan bermartabat.
Dalam pandangan saya, seruan tersebut sangat relevan dengan realitas kehidupan saat ini. Banyak orang beriman secara formal, namun kehilangan makna spiritual di balik ibadahnya. Shalat dilakukan, tetapi tidak menghadirkan ketenangan. Sedekah diberikan, namun disertai niat mencari pengakuan. Kita seolah menjalankan agama secara ritual, tetapi tidak secara moral. Padahal, esensi iman adalah keyakinan yang melahirkan kejujuran, kasih sayang, dan rasa tanggung jawab kepada sesama.
Sementara itu, takwa merupakan bentuk kesadaran tertinggi manusia terhadap kehadiran Allah dalam setiap langkah hidupnya. Orang yang bertakwa akan berhati-hati dalam bertindak, karena ia menyadari bahwa segala perbuatannya tidak luput dari pengawasan Tuhan. Takwa bukanlah sekadar takut terhadap hukuman, melainkan rasa cinta yang membuat seseorang ingin selalu berada di jalan kebenaran. Bila iman menghidupkan hati, maka takwa menjaga agar hati itu tetap bersih dari kesombongan dan keburukan.
Ustaz Ridwan mengingatkan jamaah tentang salah satu akhlak agung Rasulullah saw., yaitu tawadhu' atau kerendahan hati. Nabi tidak pernah memandang rendah orang lain, meskipun beliau memiliki kedudukan tertinggi di antara manusia. Ia membawa barang belanjaannya sendiri, berjalan di belakang para sahabatnya, dan tidak segan menyapa lebih dulu siapa pun yang ditemuinya. Inilah bentuk nyata dari iman dan takwa yang menyatu dalam perilaku sehari-hari.
Kerendahan hati Rasulullah bukan tanda kelemahan, melainkan simbol kekuatan batin. Dalam masyarakat modern, kita sering mengartikan kekuatan sebagai dominasi dan kebanggaan diri. Padahal, sejatinya kekuatan sejati adalah kemampuan untuk menundukkan ego. Orang yang mampu bersikap rendah hati adalah orang yang menang melawan dirinya sendiri. Ia tidak butuh pengakuan, karena sudah cukup dengan ketenangan batin yang datang dari keikhlasan.
Menjadi pribadi bertakwa di era modern tentu tidak mudah. Godaan datang dari berbagai arah: dari layar gawai yang menyajikan segala bentuk kesenangan, dari budaya konsumtif yang memuja kemewahan, hingga dari sistem sosial yang sering kali menilai manusia berdasarkan status dan materi. Dalam situasi seperti ini, iman dan takwa diuji bukan melalui ujian besar, tetapi lewat hal-hal kecil seperti menahan amarah di media sosial, menjaga kejujuran di tempat kerja, dan menghormati orang lain meski berbeda pandangan.
Kerendahan hati menjadi benteng spiritual dalam menghadapi semua itu. Orang yang tawadu tidak mudah terprovokasi, tidak haus akan pujian, dan tidak merasa paling benar. Ia memahami bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bila sikap ini bisa dihidupkan kembali di masyarakat, niscaya kehidupan akan lebih damai dan beradab.
Iman dan takwa seharusnya tidak berhenti di masjid atau di saat khusyuk beribadah. Keduanya harus menjadi gaya hidup yang mempengaruhi cara kita bekerja, berinteraksi, dan bermedia sosial. Seorang pegawai yang beriman tidak akan korupsi, seorang pelajar yang bertakwa tidak akan mencontek, dan seorang pemimpin yang tawadu tidak akan menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam konteks sosial, iman dan takwa bukan hanya urusan individu, melainkan juga fondasi kehidupan bersama. Masyarakat yang beriman dan bertakwa akan melahirkan budaya saling menghormati, tolong-menolong, dan menjauhi perpecahan. Sebaliknya, ketika iman dan takwa ditinggalkan, yang muncul adalah keserakahan, kesombongan, dan ketidakadilan.
Khutbah yang disampaikan Ustaz Ridwan di Masjid Al-Masykur bukan sekadar nasihat keagamaan, tetapi juga ajakan moral yang sangat dibutuhkan di masa kini. Di tengah kehidupan yang semakin materialistis, kita perlu kembali pada nilai-nilai dasar Islam yang mengajarkan keseimbangan antara spiritual dan sosial.
Iman memberi arah, takwa memberi kekuatan, dan kerendahan hati menjaga agar keduanya tidak tercemar oleh kesombongan. Jika setiap individu mampu menanamkan nilai-nilai itu dalam diri, maka kehidupan masyarakat akan lebih harmonis dan bermartabat.
Dengan demikian, iman dan takwa bukan hanya kewajiban, tetapi kebutuhan jiwa yang membuat manusia tetap manusia, makhluk yang sadar, rendah hati, dan selalu berusaha menjadi lebih baik di hadapan Tuhannya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar