Tragedi Kanjuruhan, Berlebihan Menghasilkan Kecelakaan

Oleh : Nurholis Fajar
Dunia sepak bola Indonesia kembali dilanda duka mendalam atas terjadinya insiden kerusuhan supporter di Stadion Kanjuruhan Malang pada Sabtu malam (1 Oktober 2022) yang mengakibatkan hilangnya ratusan korban jiwa. Hingga kini (26 Oktober 2022) 135 Orang telah dinyatakan meninggal dan yang lainnya masih terbaring di rumah sakit. Tragedi ini menjadi pusat perhatian bukan hanya di Indonesia tapi menyeluruh ke belahan dunia, pasalnya peristiwa ini menjadi "Tragedi" sepak bola kedua terbanyak yang menelan korban jiwa setelah peristiwa 24 Mei 1964 di Peru yang menewaskan 328 Orang.

Tragedi 1 Oktober 2022 itu terjadi saat pertandingan sepak bola Arema FC melawan Persebaya yang berakhir dengan kekalahan Arema FC dengan skor 2-3 yang dimenangkan oleh Persebaya. Diduga karena merasa tidak terima dengan kekalahan dari tim yang di unggulkannya, supporter Aremania langsung menyerbu kelapangan setelah peluit panjang tanda selesainya permainan telah ditiup oleh wasit. Dengan ricuhnya supporter tersebut akhirnya kacaulah suasana tribun hingga aparat menembakan peringatan gas air mata dan berakhir kepanikan dari seluruh warga tribun pada saat itu.

Dengan semua tragedi tersebut, satu hal yang menjadi sorotan penulis ketika merenungkan insiden ini yaitu "Semua berawal dari sifat berlebihan".

Di Indonesia khususnya, fenomena berlebihan atau bisa kita sebut fanatisme ini menjadi hal biasa dalam lingkup sepak bola. Kebanggaan dan fanatisme tersebutlah yang mendorong banyak masyarakat untuk mendukung timnya tanpa syarat apapun dan rela mengorbankan jiwa raganya. Dr. Filosa Gita Sukmono, dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhamamdiyah Yogyakarta (UMY), memberikan statement bahwa "Hari ini style-style fanatisme, bahwa sepak bola adalah agama kedua bagi para suporter-suporter yang fanatik itu benar-benar terjadi,". Mungkin sampai sekarang hal tersebut ada saja yang masih melumrahkan, tapi ketika sudah berhadapan menjadi tragedi duka seperti ini maka bagaimana mungkin hal tersebut masih bisa di lumrahkan?

Selanjutnya terkait pengamanan. Sudah menjadi kewajiban aparat khususnya kepolisian untuk menertibkan dan mengamankan situasi ketika terjadinya sebuah kericuhan. Tapi, bagaimana jadinya bila mengamankan tersebut malah menjadi aspek penambahnya kericuhan?

Mungkin memang di awal tragedi ini terjadi itu dipicu oleh supporter fanatik yang menyerbu lapangan. Tapi meskipun dengan kepanikan yang di alami oleh aparat tidak bisa membenarkan penembakan gas air mata menuju tribun yang di tempati oleh banyak sekali supporter tak berdosa. Juga parahnya lagi ketika supporter panik karena gas air mata dan berbondong-bondong untuk keluar stadion 3 dari 4 pintu keluar itu dalam keadaan terkunci sehingga membuat banyak jiwa melayang karena terinjak-injak oleh supporter yang panik dan perih matanya.

Maka dari itu terlepas dari kesalahan siapa juga siapa yang pantas disalahkan dalam tragedi ini, satu pelajaran penting yang bisa kita ambil adalah "Jangan berlebihan terhadap suatu hal, karena yang secukupnya itu adalah yang paling baik". Tidak mungkin ricuh bila supporter fanatic tidak memasuki lapangan hijau, dan tidak mungkin kepanikan berlebih akan muncul bilamana gas air mata tidak tersebar juga pintu terbuka lebar untuk semua supporter, karena pada hakikatnya setiap manusia itu egois terhadap keselamatan dirinya sendiri.


Nurholis Fajar, Mahasiswa Jurusan KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 085173069175, Desa Sayang Kec.Jatinangor Kab.Sumedang Prov.Jawa Barat

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023