oleh: Awla Rajul
Menteri keuangan, Sri Mulyani bahkan mengatakan bahwa di tahun 2019 BPJS Kesehatan berpotensi defisit sebanyak 32,8 triliun. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan BPJS Kesehatan rugi besar hingga bisa mengalami defisit sebesar itu?
Banyak peserta mandiri yang menunggak pembayaran merupakan salah satu sebab. Mungkin masih banyak stigma di masyarakat "untuk apa membayar sedangkan tidak pernah mengklaim layanan tersebut," atau "nanti saja ketika sudah sakit," dan banyak lain hal. Padahal, iuran tersebut merupakan salah satu investasi kesehatan yang sangat berguna, alih-alih belum pernah mengklaimnya sekali pun.
Namun, dengan kebijakan naiknya iuran BPJS Kesehatan, belum ada jaminan jika di 2019 defisit akan turun. Dengan sebab banyak peserta yang menunggak pembayaran, bisa jadi hal tersebut merupakan salah dari sistem BPJS Kesehatan sendiri, yang tidak tegas terkait iuran bulanan peserta. Mengingat BPJS memiliki hak, wewenang, dan kekuasaan untuk mengatur hal tersebut. Kemungkinan lain, bahkan defisit makin memuncak, karena banyak peserta yang tidak lagi mau membayar. Dengan asumsi, "iuran yang 25.500 saja (kelas 3) menunggak, bagaimana dengan 42.000."
Jika dihitung pun, 25.500 perbulan untuk kelas 3 dengan daerah UMR 2,5 juta perbulan masih terbilang sanggup. Entah bagaimana dengan kenaikan iuran. Apalagi seorang kepala keluarga yang menghidupi lima orang. Bisa bisa malah berhenti. Sebaiknya, internal BPJS Kesehatan sendiri pun harus ditingkatkan dari pelayanan, dan aspek lain, dan membuat aturan yang tegas untuk orang-orang yang menunggak pembayaran. Jika masih saja seperti itu, dengan iuran yang sudah naik, malah bukan menghindari dan mencegah defisit. Tapi sengaja mengundang defisit, bukan?
Per tanggal 1 September 2019, iuran BPJS direncanakan naik mencapai 100%, namun entah sudah dimulai atau tidak. Kenaikan iuran BPJS tersebut merupakan buntut panjang dari defisit BPJS dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, defisit BPJS Kesehatan "hanya" 1,9 triliun. Tahun depannya naik, menginjak 9,4 triliun. Tahun 2016 BPJS Kesehatan mengalami penurunan defisit menjadi 6,4 triliun. Di tahun 2017, defisit mencapai lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya, yaitu 13,8 triliun. Dan di tahun 2018 kemarin, naik lagi mencapai 19,4 triliun.
Menteri keuangan, Sri Mulyani bahkan mengatakan bahwa di tahun 2019 BPJS Kesehatan berpotensi defisit sebanyak 32,8 triliun. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan BPJS Kesehatan rugi besar hingga bisa mengalami defisit sebesar itu?
Banyak peserta mandiri yang menunggak pembayaran merupakan salah satu sebab. Mungkin masih banyak stigma di masyarakat "untuk apa membayar sedangkan tidak pernah mengklaim layanan tersebut," atau "nanti saja ketika sudah sakit," dan banyak lain hal. Padahal, iuran tersebut merupakan salah satu investasi kesehatan yang sangat berguna, alih-alih belum pernah mengklaimnya sekali pun.
Namun, dengan kebijakan naiknya iuran BPJS Kesehatan, belum ada jaminan jika di 2019 defisit akan turun. Dengan sebab banyak peserta yang menunggak pembayaran, bisa jadi hal tersebut merupakan salah dari sistem BPJS Kesehatan sendiri, yang tidak tegas terkait iuran bulanan peserta. Mengingat BPJS memiliki hak, wewenang, dan kekuasaan untuk mengatur hal tersebut. Kemungkinan lain, bahkan defisit makin memuncak, karena banyak peserta yang tidak lagi mau membayar. Dengan asumsi, "iuran yang 25.500 saja (kelas 3) menunggak, bagaimana dengan 42.000."
Jika dihitung pun, 25.500 perbulan untuk kelas 3 dengan daerah UMR 2,5 juta perbulan masih terbilang sanggup. Entah bagaimana dengan kenaikan iuran. Apalagi seorang kepala keluarga yang menghidupi lima orang. Bisa bisa malah berhenti. Sebaiknya, internal BPJS Kesehatan sendiri pun harus ditingkatkan dari pelayanan, dan aspek lain, dan membuat aturan yang tegas untuk orang-orang yang menunggak pembayaran. Jika masih saja seperti itu, dengan iuran yang sudah naik, malah bukan menghindari dan mencegah defisit. Tapi sengaja mengundang defisit, bukan?
Mahasiswa KPI UIN SGD Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Beri komentar secara sopan