Penulis berpandangan bahwa persoalan umat hari ini bukan terletak pada kekurangan ibadah, melainkan pada lemahnya muhasabah. Banyak orang rajin menjalankan ritual keagamaan, tetapi kurang menyadari penyakit hati yang menyertai, seperti riya, ujub, sombong, tamak, dan iri. Jika kondisi ini dibiarkan, ibadah berisiko hanya menjadi rutinitas tanpa daya membentuk akhlak.
Al-Qur'an menegaskan bahwa ukuran keselamatan manusia bukan terletak pada hal-hal duniawi, melainkan pada kebersihan hati.
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
"Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih." (QS. Asy-Syu'ara: 88–89).
Dalam kajiannya, Ustaz Edih Supardih menekankan bahwa penyakit hati sering kali tidak terasa, tetapi dampaknya besar terhadap kualitas ibadah. Menurut penulis, kritik ini relevan dengan realitas sosial saat ini, ketika kesalehan kerap diukur dari apa yang terlihat, bukan dari perubahan sikap dan akhlak.
Selain menjaga hati, kajian tersebut juga mengingatkan pentingnya semangat mencari ilmu hingga usia lanjut. Belajar tidak seharusnya berhenti karena usia atau status. Ilmu justru berperan sebagai pengingat agar manusia tidak mudah terjebak dalam kesombongan dan rasa cukup.
Opini ini menilai bahwa ibadah yang bermakna adalah ibadah yang disertai kesadaran untuk terus memperbaiki diri. Tanpa muhasabah dan semangat belajar, ibadah mudah kehilangan rohnya. Kajian di Masjid Ar-Rahmat Cipadung Wetan menjadi ajakan agar umat Islam tidak hanya meramaikan masjid, tetapi juga membersihkan hati.
Reporter: Yuhan Safarah, KPI/3C