Mencari Butir-Butir Rezeki Seraya Menyusuri Jalan Keberkahan


Dari ujung timur Tanah Priangan, seorang santri tumbuh dan berkembang dari keluarga yang memiliki keterbatasan finansial. Ia berusaha menempuh setiap langkah kehidupan dan terus menguliti hikmah di setiap jejaknya. Santri ini bernama Rozak, lahir di Kabupaten Pangandaran.

Keterbatasan finansial keluarganya diawali selepas ayahnya pulang menghadap kepada Sang Pencipta saat ia berusia 9 tahun. Dari situlah, ibunya seorang diri mesti mencukupi kebutuhan hidup kedua anaknya, Rozak dan saudara perempuannya.

Sampai pada usia 16 tahun, Rozak berpikir tentang kemandirian hidup yang mesti ia jalani. "Maneh mah tong sarua pemikirana jeng sauumuran maneh, maneh mah kudu lewih dewasa jeng mandiri!" dauh ibunya yang selalu terngiang dalam telinganya sehingga menjadi pijakan hidup baginya.

Dari niat dan tekad Rozak itulah Allah bukakan pintu rezeki baginya. Ia ditawarkan oleh gurunya menjadi juru masak santriwati di Ponpes Al-Hamidiyah dan akhirnya menerima tawaran itu. Dari situlah, ia mendapat tambahan uang jajan sehingga dapat meringankan pekerjaan ibunya.

Setelah lulus dari bangku Madrasah Aliyah, semangat juang Rozak dalam mengejar ilmu tidak terhenti sampai di situ. Ia berkeinginan kuat melanjutkan pendidikannya sampai ke bangku perkuliahan. Namun beribu-ribu sayang, pada saat itu ibunya sulit untuk mensuport keinginan Rozak, sekali lagi karena keterbatasan finansial. Rozak tidak putus asa atas itu, ia tetap bersikeras ingin melanjutkan jenjang pendidikannya dengan tidak membebani ibunya. Akhirnya ia mencoba membuka tabungan dari hasil upah selama dua tahun menjadi juru masak dan mencari beasiswa kemana-mana. Alhamdulillah, dengan hasil jerih payahnya, ia diterima sebagai mahasiswa UIN SGD Bandung dan menerima beasiswa KIP-K. Dengan demikian, ia pun bisa melanjutkan pendidikannya dengan tanpa membebani siapapun dan akhirnya diridhai oleh ibu dan gurunya.

Langit yang cerah bagaikan harapan, menatap awan yang terus berjalan tanpa henti laksana perjuangan, dan matahari yang melulu memancarkan sinar yang tak terbatas hingga menyusupi tirai dan bilik rumah bak tekad dan ambisi yang terus berkobar meski sepak terjang terus disertai rintangan. Dengan harapan, perjuangan, dan tekadnya lah Rozak akhirnya bisa menyinggahi kota dengan julukan Paris Van Java yang memiliki sejuta harapan untuk menggapai cita-cita.

UIN SGD Bandung lah yang menjadi wadah bagi Rozak untuk menggali bakat dan kompetensi, serta menyusuri samudera pengetahuan seraya mengarungi berbagai pengalaman, baik berorganisasi maupun bermasyarakat. Serta Ponpes Al-Ihsan yang menjadi asrama tempat tinggalnya sembari beriktikad merambah cakrawala keislaman dan membina akhlakul karimah di sana.

Dengan rasa takjub dan bangga, dan tuturan hati yang tiada henti bersyukur kepada Sang Ilahi. Ini menjadi gerbang awal bagi Rozak menuju kesuksesan, ia datang bersama kakak perempuannya tanpa ditemani ibunya, lantaran tak ingin menambuh beban ongkos yang ditanggung oleh anaknya sendiri. Namun, jauh disana ibunya tak pernah putus mendoakan buah hatinya dalam menimba ilmu di tanah perantauan.

Waktu demi waktu terus berjalan, satu semester telah Rozak lalui. Namun pada detik itu ia seketika ingat dan merenungi pesan ibunya. Ia mesti tetap mandiri meskipun telah mendapatkan beasiswa. Saat itu juga ia bangkit kembali membangun kemandirian dengan mencari butir-butir rezeki dalam keberkahan. Karena semenjak merantau, ibunya tak lagi memberikan nafkah hidup berupa materi padanya, lantaran mesti mengurusi kebutuhan hidup kedua adiknya disana.

Kang Ajiz, salah seorang senior di asramanya. Ia sudah lama bekerja sebagai pegawai depot air minum yang lokasinya tidak jauh dari asrama. Melihat dan mengetahui kondisi Rozak saat itu, dengan rasa kepeduliannya ia pun mengajak Rozak untuk bekerja bersama di depot air minum itu. Dengan tanpa berpikir panjang dan menyia-nyiakan kesempatan, Rozak pun menerima tawaran itu. Meskipun tidak seberapa hasil pendapatan dari pekerjaan itu, mereka merasa cukup dan puas, karena disisi lain selain mencari pundi-pundi rupiah, di sana mereka sembari mengabdi kepada guru pesantren sebagai pemilik depot air minum isi ulang.

Dengan pekerjaan kesehariannya itu, Rozak merasa ada sesuatu yang didapat lebih dari sekedar cuan, yaitu keberkahan mengabdi kepada guru. Ia pun mendapat perhatian lebih dari sang guru. Pencahariannya itu sama sekali tidak menggangu tujuan utamanya sebagai santri dan mahasiswa. Ia dapat memanajemen waktu belajar dan bekerja dengan sangat rapih.

Rintangan demi rintangan selalu menghampiri, suatu ketika ada temannya berceloteh kepadanya, "Maneh teh rek kuliah atau gawe sih? Jang naon maneh gawe? Ulah wayah mikiran gawe ayeuna mah, fokus wae kuliah! Ari teu mampu kuliah mah teu kudu kuliah atuh, karunya ka kolot maneh," ocehan yang hanya menjadi angin lewat baginya.

"Tapi da urang mah kudu mandiri. Naon wae anu di omongkeun ku batur, lamun eta kahadean atuh jadi pembenahan diri pikeun urang, lamun eta ngan saukur hinaan mah lah, antepkeun wae. Kumaha carana urang hirup dilembur batur kacukupan, kuliah jeung ngaji jalan, jeng teu ngabebankeun kanu jadi batur," ujar Rozak ketika diwawancari.

Dua tahun telah berlalu, saat ini Rozak menginjak semester 5 di jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Tak terasa ungkapnya, aktivitas keseharian dalam belajar dan bekerja masih berjalan sesuai dengan harapan. Ia masih tetap istiqomah dan berpegang teguh pada prinsip hidupnya.

Kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi kita dalam mendobrak tabir kesuksesan. Betapa banyak orang yang mampu menjadi seorang motivator. Walakin, hanya segelintir orang yang mampu menjadi seorang inspirator.


Reporter: Maulana Abdullah KPI 3 B

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023