Tak Semua Aksi Pakai Nalar Kebebasan Berekspresi

Oleh : Nida Khofiyya Nur Kholidah

Beberapa hari terakhir, negara – negara Muslim terusik dengan peristiwa ditunjukkannya gambar kartun Nabi Muhammad yang dilansir majalah Charlie Hebdo oleh Samuel Paty, guru sejarah di depan murid- muridnya di sekolah menengah Conflans- Sainte- Honorine. Aksi itu menimbulkan si guru jadi korban pembunuhan keji yang dicoba Abdullakh Anzorov, pemuda 18 tahun berkebangsaan Chechnya yang dikala peristiwa ialah pengungsi di daerah Prancis.

Dikala mendatangi sekolah pada malam peristiwa, Presiden Prancis Emmanuel Macron melaporkan, ini serbuan teroris Muslim. Dia menambahkan, hari ini seseorang warga dibunuh sebab ia seseorang guru serta berpikir dengan kebebasan berekspresi.

Semua negara hendak berdiri di balik si guru. Teroris tidak dapat memecah belah Prancis, kekerasan tidak akan menang. Dikala berkunjung ke Lebanon, Macron mengajak buat silih menghormati satu sama lain. Tetapi, Macron berdalih bukan kapasitasnya bagaikan presiden untuk memperhitungkan aksi Paty. Dia menegaskan, itu kebebasan berekspresi yang pemerintahannya dapat menghormatinya.

Komunitas Muslim di banyak negeri mengirimkan pesan penentangan dengan bermacam kiat. Demonstrasi merebak, ajakan memboikot produk Prancis menyeruak, serta kecaman dari kepala negara- negara Muslim menggema.
Pembunuhan ialah aksi keji. Pelakunya berhak atas hukuman setimpal. Tetapi, memakai nalar kebebasan berekspresi untuk membetulkan aksi yang melukai perasaan universal komunitas agama merupakan klaim yang butuh didiskusikan ulang.

Penulis, Mahasiswa KPI UIN SGD Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023