Rindu


Cerpen oleh: Muhammad Deni Wijaya

Sore itu langit sedang cerah, udara pun terasa hangat sekali, burung-burung masih menari-nari di angkasa, tapi entahlah apa yang dirasa, diri ini seperti kosong, dingin dan sepi, ada rasa yang masih menjadi tanda tanya, sebenarnya perasaan apa ini?

"kring, kring, kring…"
"Halo.."
"Dika, lu dimana? Gak ikut kumpul?"
"nggak, hari ini gw ada urusan" ujarku dan langsung mematikan ponsel

Sore itu aku sedang tidak ingin kemana-mana, rasanya lelah dan berat untuk menggerakan badan ini, tidak seperti biasanya setiap sore aku menghabiskan waktuku hingga tengah malam dengan teman-temanku, tidak ada tujuan lain dalam kumpulan itu hanya nongkrong-nongkrong tidak jelas terkadang sambil minum-minum.

Sambil berbaring di dalam kamarku yang sempit, berantakan dan banyak poster-poster tidak jelas, aku membayangkan semua kejadian yang sudah dilalui hingga aku tertawa sendiri, merasa jijik, sampai menggelengkan kepala karena aneh.

"Dika, sini bajunya ibu rapihkan dulu, nanti berangkatnya bareng ayah ya"
"iya bu"

Setiap hari setelah selesai shalat maghrib aku mengaji di Masjid Al-ikhlas hingga waktu Isya tiba dan setelah itu pulang. Setibanya di rumah ibu dan ayah selalu menanyakan bagaimana mengajiku apa menyenangkan dan apa pelajaran yang diberi oleh ustadz hari ini.

Sebelum tidur ayahku selalu mengaji, aku senang mendengarnya hingga tak terasa aku pun tertidur dan ketika pagi tiba aku juga terbangun oleh lantunan ayat Quran yang ayah baca. Ayah dan lantunan ayat Qurannya sudah seperti lagu pengantar tidurku dan alarm pagiku.

Sore itu langit sangat cerah, aku tengah asyik-asyiknya bermain dengan teman-temanku tapi tiba-tiba pamanku memanggil dan memberitahuku bahwa ibu meninggal. Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong, aku mencoba tersenyum karena kupikir ini pasti bohong, hanya akal-akalan paman saja supaya aku segera pulang.

Tidak terasa air mataku mulai menetes dan aku tidak bisa menahan lagi pikiranku juga mulai kacau aku berlari ke rumah dan melihat keadaaan rumah yang sudah ramai, lalu aku melihat ayah sedang mengaji tepat disamping jenazah ibu yang sudah dikafani.

"ibu,ibu,ibu…."

Aku menjerit sejadi-jadinya dan berlari menghapiri ibu, memeluk jenazahnya dan membasahi kain kafan ibu dengan air mataku.

"ibu,ibu….."

Aku terbangun dengan pipiku yang sudah basah oleh air mata, aku bermimpi tentang ibu dan kejadian terakhirku sebelum ibu meninggal. Ibu meninggal saat usiaku 12 tahun, ia meninggal karena penyakit kanker yang di deritanya, tidak ada yang tahu soal itu bahkan ayah sekalipun, hingga ayah benar-benar terpukul dengan kejadian itu, dan lebih banyak menghabiskan waktunya sendirian hingga saat ini.

Kubasuh wajahku dan melihat ke cermin, aku bukanlah yang dulu aku sudah berbeda sekarang, aku telah tumbuh dewasa bahkan aku sudah lebih kuat, bisa melukai diri sendiri dengan berbagai tato di tubuhku ini.

"Audzubillahiminasyaitonirajim, bismillahirahmanirahim"

Suara itu, suara yang tidak asing bagiku, suara yang membuatku tenang. 

Aku berlari keluar untuk memastikan suara siapa itu, aku terus mencari hingga akhirnya aku berada tepat di depan sebuah bangunan yang menyejukan pandanganku dengan pintu yang selalu terbuka lebar untuk siapapun yang ingin memasukinya

Banguanan yang tidak asing, Masjid Al-ikhlas tempatku mengaji dan shalat berjamaah bersama ayah dan warga lainnya, entah kenapa aku merasa aku ingin pulang, ingin kembali ke masa itu masa yang menyenangkan.

Kulangkahkan kakiku perlahan, suara itupun semakin terdengar jelas dan ketika sampai di depan pintu aku melihat seorang laki-laki yang memakai pakaian putih lengkap dengan penutup kepala sedang duduk dan melantunkan ayat Quran, dan benar suara itu adalah suara ayah, suara yang aku rindukan.

Aku menahan tangisku, tak mau menganggunya, aku menundukan kepala dengan terus menahan tangisku meski sebenarnya air mataku telah membasahi pipiku, aku terus menghapusnya rasanya ingin menjerit.

Aku malu, malu pada diriku sendiri malu pada-Nya apa masih pantas aku duduk di rumah-Nya dan aku tidak tahu malu menangis di hadapan-Nya. Sudah berapa lama aku pergi, sudah berapa aku lari dari-Nya.

Akhirnya aku meluapkan emosiku aku menangis sejadi-jadinya, lalu ayah datang dan memelukku, nyaman, hangat peluknya lalu ia menenangkanku.

"Dika, tak ada kata terlambat untuk bersama-Nya, Allah selalu merindukan hamba-hamba-Nya, dan ayah yakin ibu juga merindukan kita, merindukan doa dari kita, ia pasti sedih melihat kita sebelumnya, ayah juga sadar, ayah sudah terlalu jauh berlari tapi sekarang ayah kembali dan ayah ingin memulai yang baru, seperti masa itu, masa dimana kebahagiaan selalu mengiringi kita".

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023