Harapan Sejak Kecil



oleh : Laila Afifah KPI 3 B

Aku gemetaran, tubuhku panas dingin, keringatku bercucuran, semua memerhatikanku. 
Aku tak sanggup menatap wajah mereka. kulihat jam dinding, waktu tetap berjalan, 
Aku mengangkat tangan kananku yang memegang microphone, suasana semakin hening.. 
Aku menghela nafas.. dan mulai membuka mulutku.

"Bismillahirrahmanirrahiim.. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.  
Alhamdulillah.. alhamdulillahi robbil 'alamin wabihi nasta'in.. "

Setelah usai berceramah di depan kelas. Ruangan kecil itu dimeriahkan dengan 
tepuk tangan kawan-kawanku. Mereka tersenyum bangga atas penampilanku. 
Semua beranjak dari kursinya masing-masing. Aku sangat senang, 
" Alhamdulillah, Aku bisa! " ucapku dalam hati. Dari sisi kelas ada beberapa 
kawanku yang berteriak " Laila Afifah, hebatttt! ".

Laila Afifah adalah namaku. Aku menghirup nafas pertamaku dimalam hari. 
Tepatnya pukul 11.00 malam, di hari Jumat, raja disegala hari. 
Afifah yang artinya afiq, suci, menjaga dari pada yang haram. 
Ifah adalah panggilanku, yang memiliki arti terpelihara. Semoga nama ini menjadi doa.

" Teng, teng, teng.. " bunyi lonceng sudah terdengar. Inilah yang ditunggu-tunggu 
pada usia anak 10 tahun. Pelajaran pun sudah tidak kondusif, banyak kawanku 
yang langsung mengemaskan peralatan belajarnya. Aku pulang bersama kawan-kawanku 
di bawah  panasnya sinar matahari. Melewati jalan tol Jakarta-Merak. Semua yang kulalui 
tidak menjadi keluhanku, karena perjalanan ke rumah dihiasi dengan canda tawa bersama kawan-kawanku.

Aku mulai memasuki gerbang rumah, " Abiiii... Ummiiii... " panggilku dengan senang 
dari kejauhan rumah. Kucari dua sosok yang selalu memanjakanku dengan ikhlas, 
Aku memeluk keduanya. Kucium tangannya " Assalamu'alaikum, Ifah pulang! ". 
" Wa'alaikumsalam " jawab mereka nyaris serempak. " Gimana Ifah, tadi ceramahnya? " tanya Abi. 
" Alhamdulillah Abi, Lancar." Jawabku senang. " Syukurlah Abi, sudah terlihat 
siapa yang menjadi penerus kita. "  sahut Ummiku. Keduanya saling menatap tersenyum gembira. 
Aku merasa sangat hangat melihat orang tuaku bahagia. 

Aku pun menjadi tertarik, ingin menjadi seperti orang tuaku. Dihormati masyarakat, 
dibutuhkan masyarakat, rezeki yang menghampiri orang tuaku, tanpa harus 
bersusah payah membanting tulang, tidak mengeluarkan banyak keringat demi 
mencari uang untuk menhidupkanku dan keluarga. Membawa makanan yang sangat 
banyak hingga buah-buahan yang melimpah.

" Kyai " yeah, itulah gelar yang diberikan masyarakat untuk Abiku. 
" Ustadzah " banyak orang yang memanggil Ummiku seperti itu. 
Kesibukan kedua orang tuaku selalu memenuhi panggilan ceramah, 
Ummiku saat pagi dan siang, sedangkan Abiku setelah isya. 
Rumahku selalu dipenuhi dengan berbagai macam makanan, 
karena orang tuaku selalu membawa buah tangan berupa makanan berat 
dan makanan ringan, dan pastinya di saku mereka ada selipan 
kertas-kertas yang sangat bernilai harganya.

Disamping itu, Abiku berprofesi sebagai seorang dosen, 
di Universitas Hadiqotus Salam swasta. Sesibuk apapun itu, 
beliau selalu menyempatkan diri untuk melaksanakan shalat berjamaah 
di Masjid Al-Amanah bahkan sering menjadi imam dalam shalat lima waktu. 
Jarak Masjid dan Universitas tidaklah jauh. 

Masjid itu dalam pimpinan beliau sudah 2 priode, 1 priodenya menjabat 
selama 3 tahun. Sekarang memasuki tahun ke-5 dari masa jabatan. 
Tanggung jawab besar ini diberikan kepada beliau berdasarkan kepercayaan masyarakat.

Aku semakin mencita-citakannya, tapi Aku tahu semua itu tidak hanya 
sekedar ceramah omong kosong, harus belajar, harus memperbaiki diri 
sebelum menyampaikan pada orang banyak. Aku semakin semangat melatih diri 
untuk mengikuti semua event yang diadakan di sekitar. Wawasanku semakin bertambah luas 
dan mulai terbiasa tampil di depan umum. Meskipun gugup, setidaknya memiliki 
kepercayaan diri untuk berbicara dikhalayak.

Ketika di Tsanawiyah, Aku sudah berceramah sebanyak 5 kali dalam muhadharah. 
Guru-guru di sekolah mengetahui kemampuanku berceramah dan juga mengetahui 
siapa orang tuaku. Hingga Aku salah satu murid yang sering ditunjuk untuk 
muhadharah dadakan. Ummiku semakin bangga, beberapa kali Aku tampil, beliau sengaja 
datang ke sekolah MTs. Darul Khasyi'in untuk mendengarkan isi ceramahku.

Perjalanan pendidikanku berlanjut di Karawang, Rawa Merta. Aku berdiam di sebuah asrama As-Salam. 
Saat muharaman tiba, semua jenis perlombaan diselenggarakan. Aku ditunjuk langsung oleh Ustadzku 
untuk mengikuti lomba pidato. Aku sengaja tidak menunjukan bakatku Aku berpura-pura menjadi 
seorang yang pendiam, namun tetap saja beliau mengetahui keahlianku. Alhasil, Aku menjadi 
juara pertama lomba pidato. Aku memberikan pialaku kepada orang tuaku. Luar biasa, 
orang tuaku sangat bahagia, Aku sangat senang melihat mereka bahagia. Tidak lama kemudian, 
Aku didaftarkan kembali mengikuti lomba dari guruku, kali ini jenis lombanya adalah cerita. 
Lomba besar-besaran santri putri melawan santri putra. Aku tak berniat mengikutinya. 
Tetapi Aku tetap menjalankannya. Dan alhamdulillah, Aku mendapat sebuah piala lagi. 
Aku berikan lagi pada orang tuaku, mereka semakin berharap agar Aku bisa menjadi penerusnya. 
Aku pun tahu, caraku membuat orang tuaku bahagia adalah dengan prestasiku. 

Hijrahku berlanjut ke Bekasi, tepatnya di Annida Al-islamy. Yang kurasakan disini 
sangat berbeda dengan Karawang. Disini Aku merasa bahwa diriku sama sekali tidak ada 
ilmu sedikit pun. Semua orang yang kutemi di Penjara Suci ini sangatlah pintar, shalih, 
berakhlak. Mereka semua sudah berada di puncaknya, sedangkan Aku masih di kaki bukit. 
Benar-benar merasa paling bodoh. Dalam qiamul lail tanpa sadar Aku meneteskan air mata 
karena kebodohanku selama ini. Sebelumnya yang kuasah adalah mental, sedangkan 
ilmu alat sama sekali belum tersentuh. Aku tidak menyerah. Aku berguru dengan kawanku 
yang sudah menjadi kepercayaan Kyai setempat keilmuannya. Aku sangat kagum melihat 
santri yang berakhlak mulia, mereka ta'dzim kepada guru dan orang tuanya. 

Kubuktikan semua yang kudapat di Bekasi, Aku menuruti semua perintah orang tuaku 
dengan ikhlas. Ummi menyuruhku untuk mengisi acara buka bersama di malam terakhir Ramadhan. 
Sekolah Mts Darul Khasyi'in mengundangku untuk sambutan di acara buka bersama dan 
shalat tarawih berjamaah. Hingga akhirnya Ummi menyuruhku untuk menjadi khatib di 
Hari Raya Idul Fitri. Di Daerahku, Karang Tengah, shalat Ied antara laki-laki dan 
perempuan dipisahkan. Laki-laki di Masjid, sedangkan perempuan di Majlis Ta'lim. 
Minggu akhir Ramadhanku, dihabiskan untuk menulis naskah khutbah. Pertama kali untukku 
di usia 16 tahun menjadi khatib di hari besar Islam. Terjun langsung ke masyarakat 
dengan jumlah ribuan kaum hawa. Aku dihadapan jamaah menyampaikannya dengan sangat menghayati. 
Tanpa kusadari, suaraku mulai gemetar, serak parau. Air mataku membasahi pipi dan mukenaku. 
Seluruh jamaah menangis dengan apa yang kusampaikan. 

Usai melaksanakan shalat Idul Fitri berjamaah, adat kebiasaanku adalah bersilaturahim 
ke tetangga untuk saling memaafkan. Semua orang yang bertemu memanggilku "Ustadzah" . 
semua mendoakanku. Aku hanya mengaminkan doa mereka, tapi Aku merasa malu dengan gelar itu, 
tidak cocok dengan gelar itu, Aku masih harus banyak memperbaiki diri.

Aku duduk di bangku kuliyah, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Seiring berjalannya waktu, 
Aku semakin menghindar dari acara-acara pengajian di rumah.  Seperti pembukaan pengajian 
remaja Parung Jaya, acara bulanan Majlis Ta'lim ibu-ibu, pimpin bacaan yasin dan tahlil malam jumat, 
sambutan pengajian ahlul bait mingguan, dll.

Jumat, 09 Desember 2016, pekan lalu. Aku berlibur di Ciledug. " Ketemu orang tua sebelum UAS" 
itu adalah alasanku untuk pulang ke kampung halaman. Hari minggu, ada acara memperingati 
Maulid Nabi sekaligus pengajian bulanan. Seperti biasa, Ummiku menyuruhku untuk sambutan, 
Abiku berusaha keras melatihku untuk tampil. Tapi entah mengapa, aku masih tidak ingin berbicara 
di masyarakat. Hati kecilku ingin sekali kembali berbicara dihadapan orang banyak, namun yang 
kurasakan saat ini berbeda dari diriku yang dulu. Aku menolaknya. Ummiku sangat kecewa, 
Abiku tiba-tiba diam seribu kata. 

Aku di Bandung, sedang menjalankan UAS. Tiba-tiba, keluargaku menjemputku menyuruhku untuk pulang. 
Aku merasa ada yang tidak beres. Ternyata, Ummiku meninggal dunia. Aku sangat sedih mendengar kabar itu, 
Aku menyesal karena kemarin tidak berceramah dihadapan beliau. Saat pikiranku sangat kacau, Aku mendengar 
ada sebuah bisikan " Ifah, lain kali disuruh ceramah, harus mau ya! ".

Mataku terbelalak, Aku tersadar, jantungku berdegup kencang, keringat menyelimuti sekujur tubuhku. 
" Syukurlah hanya mimpi " ucapku dalam hati. Saat itu juga pikiranku menamparku " jangan sampai menyesal! ".
Aku membulatkan niat awalku lagi, Aku memperkuat semangatku. Aku ingin menjadi manusia 
yang bermanfaat untuk orang lain. Tiap kali Aku kembali ke halaman surgaku, Aku selalu 
menawarkan diri untuk mengisi setiap acara-acara yang akan diselenggarakan. Abi dan Ummi heran 
dengan perubahan drastisku, tapi Aku dapat membaca dari mimik mukanya, mereka senang dengan 
diriku yang semangat untuk terjun ke masyarakat. Hingga akhirnya Aku menjadi sosok yang selalu 
diharapkan oleh mereka, Aku berhasil meraih cita-citaku sejak kecil. Semua orang memanggilku 
dengan gelar " Ustadzah ".

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023