Jangan Ada Lagi Intimidasi Terhadap Keluarga Korban Kanjuruhan

Pada tanggal 1 Oktober 2022 sebagaimana yang kita tahu kerusuhan di stadion Kanjuruhan terjadi. Tragedi tersebut menggemparkan Indonesia bahkan sampai dunia. Tentu hal ini bukan peristiwa pertama kali nya kerusuhan di stadion sepak bola Indonesia, tapi peristiwa Kanjuruhan lah yang paling parah yang menelan sampai 135 orang .Dan dinobatkan kerusuhan sepak bola yang paling parah ke 2 setelah kerusuhan di Estadio Nacional, Lima , Peru yang menewaskan 328 orang.

Kerusuhan di Kanjuruhan memang disebabkan oleh banyak faktor, mau itu dari pihak supporter aremania, aparat, penyelenggara hingga stasiun tv. Untuk mengetahui jalan keluar dari kasus ini maka pada tanggal 5 november 2022 akan dilaksanakan nya ekshumasi oleh Tim Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia,Tim Gabungan Independen Pencari Fakta ( TGIPF ), LPSK ( Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ), Komnas HAM, Asisten Tindak Pidana Umum ( Aspidum ), dan Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas ).

Ekshumasi ini sendiri yaitu penggalian kubur seseorang yang bertujuan agar mengetahui dan mengidentifikasi forensik penyebab kematian korban-korban tragedi Kanjuruhan, dan untuk memastikan adanya pelanggaran HAM saat kejadian tersebut. 

Namun ekshumasi kepada korban yang paling menarik perhatian yaitu kedua putri dari Devi Athok Yulfitri, 43 tahun warga Desa Krebet Senggrong, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang yaitu Natasya Debi Ramadhani ( 16 tahun ) dan Nayla Debi Anggraeni ( 13 tahun ). Pada mulanya surat pernyataan bersedia ekshumasi dan autopsi sudah ditekankan oleh Devi sejak 10 Oktober 2022. Namun pada 19 Oktober tiba-tiba Devi mencabut ijin pernyataan ketersediaan ekshumasi terhadap putrinya. Sebelumnya LPSK menerima laporan pengaduan dari Devi karena adanya intimidasi terhadap dirinya oleh sejumlah oknum Polri. Sebelumnya tersiar kabar jika sejumlah anggota Polri terus mendatangi salah satu rumah keluarga nya. Peristiwa tersebut terjadi tidak lama setelah pihak keluarga mengajukan permintaan ekshumasi kepada keluarga korban.

Tapi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta ( TGIPF ) membantah adanya intimidasi kepada keluarga korbam. Berdasarkan hasil penelusuran, pencabutan permintaan autopsi tersebut didasari atas permintaan keluarga sendiri yaitu nenek korban karena tidak tega makam cucunya digali kembali. Menanggapi penelusuran tersebut publik dan khusus nya Sekretaris Jendral Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan ( Kontras ) kecewa dengan pernyataan dan hasil penelusuran tersebut. Karena TGIPF tidak punya kemampuan untuk memahami psikologi keluarga korban.

Terlepas benar atau tidak nya laporan publik dan LPSK berharap tidak ada pengaduan dari keluarga korban karena intimidasi karena akan berdampak buruk bagi kepercayaan publik terhadap proses hukum yang adil, karena ekshumasi ini penting untuk menguak kebenaran apa yang terjadi di Kanjuruhan. Adapun ekshumasi dan rencana autopsi dari 2 jenazah korban tersebut dilaksanakan pada 5 November 2022 kemarin.

Oleh : Nizar Nur Ramadhan ( KPI 3/C )

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023