Cerpen: UANG EIDI

OLEH MILANA

Daun pintu itu tak tertutup rapat. Setelah menoleh ke kiri dan kanan, dan memastikan tidak ada yang melihat, bocah itu berjalan mengendap-endap. Menjinjitkan kaki sambil menahan na -pas. Dia berusaha menjaga kehadirannya tidak terlihat dan derap langkahnya tak ter -dengar. Hanya desau angin saja yang boleh terdengar. Persis seperti seekor kucing yang hendak mencuri ikan.

Namun, kali ini dia bukan mencuri ikan, melainkan mencuri dengar. Perilaku yang dia tahu betul sesuatu yang tak baik, tetapi tak urung dilakukan. Seperti kata pepatah Inggris, curiosity killed the cat.

Melalui celah pintu, dia melihat dua so -sok pria dewasa di dalamnya. Bocah sepuluh tahun itu membuka mata lebar-lebar dan memasang telinga. Mereka membicarakan sesuatu yang tidak dia pahami sepenuhnya. Hanya beberapa kata yang berhasil ditang -kap, lalu ia coba cerna dan diolah oleh otak -nya yang sederhana. Pikirnya, tidak ada sesuatu yang menarik.

Karena itu, dia memilih untuk segera meninggalkan tempat itu sebelum mereka memergokinya mencuri dengar. Namun, langkahnya tertahan oleh pemandangan yang mengejutkan dirinya. Matanya terbe -lalak, mulutnya ternganga. Sesuatu yang baru pertama kali dilihat dalam hidupnya. Tiba-tiba sebuah ide berkelebat di kepala. Bibirnya menyunggingkan senyum. Ide cemerlang menunggu untuk dijalankan.  

Malam chaand raat. Bulan baru terbit, penanda berakhirnya satu bulan berpuasa di bulan Ramadhan. Setelah Pemerintah Pakistan mengumumkan jatuhnya Idul Fitri, masjid-masjid di seantero negeri mulai mengumandangkan takbir. Termasuk di Lahore, kota yang terletak di wilayah barat Provinsi Punjab. Warganya ramai bersuka cita menyambut datangnya hari kemenang -an dengan memenuhi jalan-jalan dan pasar-pasar. Bunyi dentuman senapan yang dile -paskan ke udara menambah keramaian ma -lam chaand raat.

Bagi keluarga Faiz, malam chaand raat tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Selepas dari shalat Isya di masjid, dia harus menemani sang istri berburu gelang-gelang churiya aneka warna di bazar Anarkali, juga beberapa baju baru untuk hari raya. Bagai lukah tak penuh air, nafsu berbelanja seakan tidak ada habisnya, bahkan hingga malam menjelang Idul Fitri.

Bazar-bazar  dipadati pengunjung. Para penjual berlomba menjajakan aneka barang dagangannya dengan iming-iming harga obralan. Kota Lahore menjadi lebih hidup dan semarak di bawah kelap-kelip lampu penghias jalan. Euforia yang selalu berulang tiap tahun, tanpa peduli hampir setahun se -belumnya huru-hara politik melanda negeri itu dengan terbunuhnya wanita pertama yang memimpin Pakistan, Benazir Bhutto.

Kedua putri Faiz memilih tinggal di rumah. Mereka berencana saling menghiasi tangan dan jemari mereka dengan cat hena, meniru desain model di majalah.

Sementara itu, Ayyan si putra bungsu bermain dengan teman-temannya menyala -kan kembang api di jalanan depan rumah. Rupanya, dia hanya bermain sebentar. Dia memilih segera pulang dan menyibukkan pikiran untuk merencanakan hari esok.

Ayyan sangat bergembira menyambut Idul Fitri karena dia sangat mengharapkan hadiah puasa sebulan penuh dari kedua orang tuanya dan uang eidi (amplop Le -baran). Biasanya dia mendapat tiga ratus rupee yang dia habiskan untuk membeli sebungkus chips, chocolate cookies, permen, jus mangga, dan cokelat. Dia ingin membeli juga mainan, tetapi sering kali uangnya tak cukup. Kali ini dia ingin mendapatkan lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Itu rencananya.

Hari raya yang dinantikan telah tiba. Setelah selesai menunaikan shalat Id di masjid terdekat, para jamaah saling bersa -lam an dan mengucapkan eid mubarik. Faiz lalu mengajak Ayyan berkunjung ke rumah tetangga. Sedangkan, istri dan kedua putri -nya sibuk mempersiapkan hidangan khas Idul Fitri di rumah. Kudapan manis sheer korma dan shuwayyan menjadi primadona hampir di tiap rumah. Sajian pertama yang mengawali perayaan hari penuh kemenang -an bersama keluarga.

Setelah itu, inilah momen yang paling ditunggu Ayyan. Faiz meminta semua anak -nya berbaris dan ia lantas membagi uang eidi. Sebagai anak bungsu, Ayyan berbaris paling belakang.

Akhirnya tiba giliran Ayyan. Faiz mem -beri kan amplop kepada Ayyan, tetapi Ayyan menolak.

“Ada apa, beta (anak)? Kenapa kamu menolak rezeki?” tanya Faiz dengan mimik heran.

“Baba, Aku sekarang sudah besar. Aku ingin uang eidi yang lebih banyak. Aku tahu Baba sedang punya banyak uang sekarang.” Ayyan menatap wajah ayahnya dengan penuh percaya diri.

Faiz terlihat sangat terkejut. Dia heran bagaimana Ayyan dapat mengetahui uang tambahan dari hasil panen dan jual tanah di kampung mereka di Qaidabad? Memang, dua hari yang lalu adiknya datang dari kampung untuk menyerahkan uang itu.

Setelah terdiam beberapa saat, dia memandang istrinya dengan penuh arti dan melempar senyum. Dia meminta Ayyan mengikutinya ke ruang kerja, lalu membuka pintu lemari. Di salah satu bagiannya terlihat tumpukan uang.

“Berapa yang kamu mau?” tanyanya menantang.

Ayyan berpikir sejenak. “Seratus.” Faiz lalu mengambil seikat uang nilai sepuluh rupee. “Ini, seratus lembar uang sepuluh rupee.”

Ayyan mencoba menghitung. Di sekolah dia memang sudah belajar menghitung uang. Setidaknya, dia mempunyai ide ten -tang barang-barang yang dapat dibeli dengan uang dalam jumlah tertentu. Secara praktik, dia sudah paham nilai nominal dan ekstrinsik mata uang rupee. Dia mengge -lengkan kepala.

Melihat reaksinya, kening Faiz berkerut. Namun, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia lalu mengambil segepok uang seratus rupee. “Ini seratus lembar uang seratus rupee.”

Lagi-lagi Ayyan menolak. Dia menggu -nakan isyarat tangannya. “Baba, aku ingin nilai seribu rupee.”

Faiz membelalakkan mata. Mulutnya terbuka lebar. Tak disangka putranya me -min ta sebanyak itu.

“Beta, kamu tidak sungguh-sungguh kan? Jangan jadikan uang sebagai mainan!” hardiknya kesal. Dia masih tak habis pikir dari mana Ayyan memperoleh ide gila ini.

“Tidak, Baba. Aku ingin beli barang impianku,” jawab Ayyan dengan mimik wajah serius.

“Memangnya apa yang kamu impikan?” tanya Faiz dengan suara yang hampir dite -kan. Dia mencoba untuk tetap tenang meng -hadapi kelakuan putra satu-satunya.

“Humm. Nanti aku pikirkan lagi.”

Faiz tertawa mengejek. “Baik, aku akan kabulkan permintaanmu.” Dia kembali mem buka lemari dan mengambil segepok uang nilai seribu rupee. Kedua bola mata Ayyan membesar melihat uang sebanyak itu.

“Terima kasih, Baba.” Ia mengambil uang itu dengan gembira dan bergegas masuk ke kamarnya.

Di dalam kamar Ayyan tersenyum puas melihat tumpukan uang itu. Rasanya dia ingin cepat menemui sahabat-sahabatnya. Sebelum itu, dia sudah harus merencanakan apa saja yang akan dibeli. Dia memicingkan mata. Dalam benaknya terpampang satu box cookies, cokelat, es krim, jus mangga, per -men. Dia lalu menghitung dengan meng gu -nakan kalkulator yang telah diambil secara diam-diam dari ruang kerja ayahnya.

“Oh, masih sisa banyak. Apalagi ya?” gumamnya.

Matanya melihat ke langit-langit kamar. Terbayang di wajahnya aneka mainan: mobil, pedang-pedangan, robot.

Sepertinya masih sisa banyak. Baiklah, aku pikirkan lagi jajanannya. Dia meme -gang kepalanya dan berusaha berpikir keras. Terkadang dia bangkit dan berjalan mondar-mandir di kamarnya, lalu kembali merebah -kan dirinya di atas tempat tidur. Berkali-kali dia berpindah posisi.

Di luar kamar, sang ibu menunggunya dengan cemas. Matanya melirik ke arah jam dinding. Ini sudah waktunya makan siang. Ayyan telah berada di dalam kamar selama hampir dua jam. Tak lama kemudian pintu terbuka. Ayyan keluar dengan membawa tumpukan uang itu. Wajahnya terlihat kusut. Dihampirinya sang ayah.

“Baba, aku tidak mau uang ini. Aku pu -sing dan lelah. Berikan saja aku uang seperti biasanya.”

Faiz tersenyum lebar. Dia mengambil se gepok uang itu dan menukarnya dengan tiga lembar uang ratusan. Ayyan meneri ma -nya dengan senyum semringah. Dia segera berlari riang menuju pintu luar. De-ngan uang sebanyak ini dia akan mudah mem -belanjakannya di warung dekat rumah.

Lahore, 15 April 2022

Catatan:

Chaand raat = bulan baru, tradisi malam takbiran.
Eidi = tradisi memberikan uang saat Idul Fitri kepada anak-anak dan orang yang lebih muda.
Rupee = mata uang Pakistan, simbol Rs. Satu rupee kira-kira senilai seratus rupiah.

Milana —ibu rumah tangga,
homeschooler, alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI dan Universitas Beihang— tinggal di Lahore, Pakistan. Dia suka menulis, melukis, dan bertualang. Beberapa karyanya yang berupa cerpen, cerpen terjemahan, artikel, dan memoar dipublikasikan dalam beberapa antologi dan dimuat di beberapa media. 

Republika 22 Mei 2022

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023