Realita Fasistik dan Sok Ngeintelektual

Dakwahpos.com, Bandung- Mengungkapkan pendapat adalah salah satu cara seseorang untuk mengkritik atas sikap yang tak pantas atas seseorang lainnya, kebijakan politik, menyuarakan hak rakyat atau biasa disebut dengan comment atas suatu topik tertentu. Cara menyampaikannya pun berbeda-beda, ada yang melalui media sosial, ber-orasi didepan umum, dan ada juga dengan sentuhan seni yang biasanya dilakukan penyair-penyair kritikus ternama di negeri ini seperti Chairil Anwar, Om Iwan Fals, atau Mochtar Lubis yang di penjara Sembilan tahun karena dianggap sebagai oposan Presiden Soekarno dan masih banyak penyair lainnya.

Bicara soal medsos atau media sosial merupakan sarana yang amat praktis dalam menyuarakan pendapat, baik coment melaui situs-situs internet, dan akun-akun media sosial. Umur pun bukanlah halangan saat ini untuk dapat menyatakan pendapat, kakek, nenek, bocah, remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak pun bisa menyatakan pendapatnya secara bebas, 'ngomong ngawur' lah kalau dalam bahasa Jawanya. 

Kemajuan teknologi informasi, kebebasan pers, dan kolom komentar mau tidak mau menggiring manusia untuk siap bersikap kritis. Sehingga keadaan seperti ini, timbulah realita fasistik dan sok ngeintelektual di media sosial. Fasistik dalam pengertian sebetulnya menandakan dua hal: seseorang yang cetek dalam pemikiran, atau secara pribadi ingin menghancurkan, membabat dan memusnahkan orang-orang, dan Sok ngeintelektual sendiri adalah sikap menggurui dan berkata bijak ba' guru sekolah-sekolah dasar tetapi berniat buruk. Bisa dikatakan cyber-bullying di media sosial. Sebagai contoh jika kita menemukan suatu topik yang sedang hangat-hangat saat ini, timbulah kaum fasistik dan sok ngeintelektual mencoba memanfaatkan keadaan ini sebagai sarana menyatakan pendapat tetapi secara berlebihan sehingga bisa berdampak negatif bagi pelaku dan korban bullying.

Kita tahu kebebasan berpendapat sendiri memang telah diatur dalam pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Tetapi sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani kita tidak seharusnya menyatakan pendapat secara fasistik dan sok ngeintelektual, tapi cobalah berikan pendapat, kritik, dan saran yang membangun. Pembatasan berpendapat memanglah bukanlah solusi, tetapi berhati-hati dalam berpendapat lebih menyenangkan bukan.


Reporter : Ando Adhi Putra, KPI 3A  

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023