Keawaman dalam Tubuh Mahasiswa

Oleh: Sabilulhaq Mardhatillah

Dulu, "awam" adalah kata lain untuk memberikan penjelasan tentang kerukunan dan mental yang sama antar warga masyarakat, baik dalam lahiriah, maupun batiniah (harapan), juga dalam konflik dan harap-harap cemas yang sama. Namun sekarang, awam telah disepakati oleh seribu karya ilmiah dan sejuta karangan fiksi untuk mengatakan mental dungu pada kelompok-kelompok tertentu.

Fakta, usaha, dan tujuan. Sering kali dalam memungut fakta, masyarakat Indonesia cenderung lebih menguatkan keyakinan pada sesuatu yang akan terjadi setelahnya, meraba-raba masa depan yang belum tentu akan terjadi. Usaha ini-itu pun dilakukan oleh mereka dalam upaya mencapai tujuan (harapan) itu, akan tetapi, tidak banyak berdiskusi, dan tidak pula dengan referensi. 

Keawaman oleh dunia, seringkali dijadikan tolok ukur untuk tiga kata pilihan dalam eksistensi negara, yakni: Maju, Berkembang, dan Mundur. Ketika negara dikatakan maju, berkembang, ataupun mundur sekalipun, faktor awam adalah satu dari sekalibet hasil pantauan dunia untuk menunjukkan eksistensi yang konsisten. Keawaman saat ini sudah jelas-jelas didefinisikan terbalik.

Coba kita tengok ke arah yang sudah jelas dan tidak terbantahkan lagi! Sebuah nama kelompok sekaligus gelar, yang menjadi acuan untuk menilai baik dan buruknya sebuah negara, yakni mahasiswa. Negara akan diberikan apresiasi keawaman oleh dunia, berupa nilai tingkat perkembangan melalui kacamata pendidikan. Dan tentu saja, siapa lagi yang berhak berbicara dan dibicarakan mengenai pendidikannya selain mahasiswa?

Maka, kita harus berani mengatakan bahwa masalah sekarang bukan lagi tentang: mengerti buku, bukan berarti mengerti ilmunya; atau bergelar profesor bisa saja jadi koruptor; ataupun, lulusan terbaik tidak selalu berakhir menjadi orang kaya. Lalu bagaimana? Apa masalahnya? Masalahnya tentu saja tentang keawaman itu sendiri. Keawaman yang dibangun oleh para mahasiswa yang tidak bertanggung jawab atas gelar mahasiswanya.

Maka dari itu, penting sekali bagi kita untuk bersikap sebagaimana mahasiswa seharusnya. Kemudian kita juga bisa meninjau dari sisi baik maupun buruknya, yakni ketika kita menjadi mahasiswa, kita sudah siap akan dihadapkan pada permasalahan yang sebenarnya bukan dari kita, tetapi harus kita yang menyelesaikannya.

Maka sekali lagi, mari kita upayakan keawaman yang kini sudah terbalik itu. Mari kita ungkapkan unek-unek keawaman yang seharusnya ada dalam diri mahasiswa, yakni unek-unek yang bukan menimbulkan persoalan dan persoalan lagi, namun membasmi kesalah pahaman dan menjawab persoalan-persoalan lama maupun baru; sulit dan enteng; berkepanjangan maupun pendek saja.

Penulis, Mahasiswa KPI UIN Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023