Duka menyelimuti masyarakat Indonesia di awal bulan Oktober 2022.
Terutama bagi para pencinta sepak bola. Sepak bola menjadi salah satu cabang olahraga yang banyak
diminati dan disukai oleh khalayak, baik dalam memainkannya atau sekedar menonton mencari
hiburan. Namun, pertandingan sepak bola antara tuan rumah Arema FC vs Persebayara Surabaya di stadion kanjuruhan pada tanggal 1 Oktober 2022 malam malah menjadi musibah.
Tragedi kanjuruhan terjadi pasca pertandingan yang diakhiri dengan skor 2-3 dimenangkan oleh
Persebaya Surabaya sang tamu. Aremania tak terima kekalahan berujung turun ke lapangan membuat kerusuhan dan menelan sebanyak 132 jiwa. Secara detail, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang
drg Wijayanto Wijoyo mengatakan korban mencapai 754 orang, 132 meninggal dunia, 596 orang luka
ringan dan sedang, 26 lainnya luka berat. Jumlah tersebut jelas jumlah yang besar, kehilangan nyawa
karena menonton sepak bola jelas hal yang konyol. Ketika pergi izin menonton sepak bola mencari
hiburan, mendukung club kesayangan, pulang malah hanya bawa nama.
Pasca pertandingan Arema kalah, terdapat terlihat beberapa oknum turun kelapangan yang merasa
sakit hati tak terima club kesayangannya itu kalah. Oknum tersebut membuat kerusuhan hingga
aparat turun untuk mengamankan para penonton tersebut dan memperingatkan dengan
menggunakan gas air mata. Sikap suportif seharusnya sudah tertanam dalam jiwa, menerima dengan
lapang dada, baik menang maupun kalah. Kerusuhan terjadi karena sikap fanatik menutupi rasa
supportif itu dan memunculkan amarah, keegoisan, juga kecerobohan yang dapat merugikan diri
sendiri dan orang lain. Kurangnya moral supporter menjadi salat satu penyebab dalam tragedi ini.
Polisi yang berniat untuk menenangkan massa malah memperburuk keadaan dengan dilemparnya gas
air mata, yang tidak hanya dilempar untuk melerai massa namun dilempar juga ke tribun penonton
yang tidak ikut turun menjadi penyebab utama meninggalnya ratusan jiwa. Ketika terkena gas air
mata, penglihatan akan berkurang, mata akan menjadi, pedih, perih, iritasi dan mengeluarkan air.
Orang-orang berusaha menyelamatkan diri dengan kondisi tersebut yang terjadi adalah mereka
berdesakan, panik, dan bertabrakan di tengah kondisi yang kacau. Yang berdesakan kekurangan
oksigen, yang diatas tribun bisa terjatuh lalu terinjak injak. Lantas apakah gas air mata
yang dilemparkan niat untuk melerai massa agar lebih tenang berguna?
Menurut aparat ditempat penanganan yang dilakukan sudah sesuai prosedur. Sedangkan Federasi
Sepak Bola Internasional (FIFA) melarang penggunaan gas air mata dalam pertandingan sepak bola
dalam aturan FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Entah apa gunanya gas air mata ini
dilemparkan, hanya membuat kerusuhan menjadi-jadi juga fakta pintu stadion juga ada yang terkunci
menjadi sorotan penyebab terjadinya tragedi kanjuruhan ini. Maka polisi juga termasuk yang harus
bertanggung jawab pada kejadian ini.
Kemudian adanya fakta mengenai panitia pelaksana (panpel) pertandingan Arema FC dan Parsebaya
Surabaya di Stadion Kanjuruhan, menjual tiket melebihi kapasitas stadion. Tiket yang terjual mencapai
45.000 sedangkan kapasitas Stadion kanjuruhan hanya 38.000 orang. Dikatakan Kapolres Malang
meminta kepada Panpel agar tiket yang dijual hanya 38.000 sekian. Saat itu Armenia protes tentang
pemotongan penjualan tiket tersebut, alhasil Panpel mengikuti sesuai yang dipesan Armenia dan
menjadikan Stadion over kapasitas. Kecerobohan panitia juga harus menjadi sorotan penyebab
terjadinya tragedi Kanjuruhan. Siapa yang dapat disalahkan dalam tragedi ini adalah dari semua pihak
yang bersangkutan, akibat kecerobohan dan egonya masing -masing. Hal ini harus dijadikan pelajaran
bagi pihak-pihak tersebut dan masyarakat Indonesia agar tidak terulang kembali. Moral dalam setiap
kompetensi apapun harus dijunjung tinggi. Menyukai sesuatu boleh, namun berlebihan hingga fanatik
juga belum tentu benar, jangan sampai merugikan orang lain dan mejadi hilang etika moralnya. Bela sungkawa untuk para korban dan turut berduka atas sepak bola Indonesia.
Oleh Maitsa Alya Arofah KPI/3B
Terutama bagi para pencinta sepak bola. Sepak bola menjadi salah satu cabang olahraga yang banyak
diminati dan disukai oleh khalayak, baik dalam memainkannya atau sekedar menonton mencari
hiburan. Namun, pertandingan sepak bola antara tuan rumah Arema FC vs Persebayara Surabaya di stadion kanjuruhan pada tanggal 1 Oktober 2022 malam malah menjadi musibah.
Tragedi kanjuruhan terjadi pasca pertandingan yang diakhiri dengan skor 2-3 dimenangkan oleh
Persebaya Surabaya sang tamu. Aremania tak terima kekalahan berujung turun ke lapangan membuat kerusuhan dan menelan sebanyak 132 jiwa. Secara detail, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang
drg Wijayanto Wijoyo mengatakan korban mencapai 754 orang, 132 meninggal dunia, 596 orang luka
ringan dan sedang, 26 lainnya luka berat. Jumlah tersebut jelas jumlah yang besar, kehilangan nyawa
karena menonton sepak bola jelas hal yang konyol. Ketika pergi izin menonton sepak bola mencari
hiburan, mendukung club kesayangan, pulang malah hanya bawa nama.
Pasca pertandingan Arema kalah, terdapat terlihat beberapa oknum turun kelapangan yang merasa
sakit hati tak terima club kesayangannya itu kalah. Oknum tersebut membuat kerusuhan hingga
aparat turun untuk mengamankan para penonton tersebut dan memperingatkan dengan
menggunakan gas air mata. Sikap suportif seharusnya sudah tertanam dalam jiwa, menerima dengan
lapang dada, baik menang maupun kalah. Kerusuhan terjadi karena sikap fanatik menutupi rasa
supportif itu dan memunculkan amarah, keegoisan, juga kecerobohan yang dapat merugikan diri
sendiri dan orang lain. Kurangnya moral supporter menjadi salat satu penyebab dalam tragedi ini.
Polisi yang berniat untuk menenangkan massa malah memperburuk keadaan dengan dilemparnya gas
air mata, yang tidak hanya dilempar untuk melerai massa namun dilempar juga ke tribun penonton
yang tidak ikut turun menjadi penyebab utama meninggalnya ratusan jiwa. Ketika terkena gas air
mata, penglihatan akan berkurang, mata akan menjadi, pedih, perih, iritasi dan mengeluarkan air.
Orang-orang berusaha menyelamatkan diri dengan kondisi tersebut yang terjadi adalah mereka
berdesakan, panik, dan bertabrakan di tengah kondisi yang kacau. Yang berdesakan kekurangan
oksigen, yang diatas tribun bisa terjatuh lalu terinjak injak. Lantas apakah gas air mata
yang dilemparkan niat untuk melerai massa agar lebih tenang berguna?
Menurut aparat ditempat penanganan yang dilakukan sudah sesuai prosedur. Sedangkan Federasi
Sepak Bola Internasional (FIFA) melarang penggunaan gas air mata dalam pertandingan sepak bola
dalam aturan FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Entah apa gunanya gas air mata ini
dilemparkan, hanya membuat kerusuhan menjadi-jadi juga fakta pintu stadion juga ada yang terkunci
menjadi sorotan penyebab terjadinya tragedi kanjuruhan ini. Maka polisi juga termasuk yang harus
bertanggung jawab pada kejadian ini.
Kemudian adanya fakta mengenai panitia pelaksana (panpel) pertandingan Arema FC dan Parsebaya
Surabaya di Stadion Kanjuruhan, menjual tiket melebihi kapasitas stadion. Tiket yang terjual mencapai
45.000 sedangkan kapasitas Stadion kanjuruhan hanya 38.000 orang. Dikatakan Kapolres Malang
meminta kepada Panpel agar tiket yang dijual hanya 38.000 sekian. Saat itu Armenia protes tentang
pemotongan penjualan tiket tersebut, alhasil Panpel mengikuti sesuai yang dipesan Armenia dan
menjadikan Stadion over kapasitas. Kecerobohan panitia juga harus menjadi sorotan penyebab
terjadinya tragedi Kanjuruhan. Siapa yang dapat disalahkan dalam tragedi ini adalah dari semua pihak
yang bersangkutan, akibat kecerobohan dan egonya masing -masing. Hal ini harus dijadikan pelajaran
bagi pihak-pihak tersebut dan masyarakat Indonesia agar tidak terulang kembali. Moral dalam setiap
kompetensi apapun harus dijunjung tinggi. Menyukai sesuatu boleh, namun berlebihan hingga fanatik
juga belum tentu benar, jangan sampai merugikan orang lain dan mejadi hilang etika moralnya. Bela sungkawa untuk para korban dan turut berduka atas sepak bola Indonesia.
Oleh Maitsa Alya Arofah KPI/3B
Tidak ada komentar
Posting Komentar