Islam Refleksikan Toleransi Dalam Kehidupan Beragama Guna Membangun Peradaban

Kehidupan di dunia nampaknya tidak lepas dari sebuah perbedaan, baik perbedaan suku, Bahasa, warna kulit, agama, bahkan sekte di dalam satu agama. Kadangkala ada orang yang menyikapi perbedaan bagitu arif sehingga nampak indah perbedaan yang ia cerminkan akan tetapi ada juga yang menyikapinya dengan sumbu pendek, menyikapi perbedaan dengan permusuhan bahkan pertumpahan darah.

Kita bisa melihat indahnya sebuah perbedaan dari perjalanan hidup seorang sahabat Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa Sallam yakni ketika Nabi menyuruh para sahabat untuk tidak salat asar kecuali di Bani Quraizhah dan ketika dalam perjalanan menuju Bani Quraizhah, waktu asar tiba dan ada sebagian sahabat yang salat di perjalanan serta ada sebagian sahabat yang salat asar di Bani Quraizhah. Kemudian berita ini sampai kepada Nabi dan Nabi menyikapi perbedaan para sahabat dengan senyuman manis karena Nabi tahu bahwa benih-benih toleransi mulai bersemi pada diri sahabat dalam menyikapi sebuah perbedaan.

Namun, ada juga yang menyikapi perbedaan dengan pertumpahan darah bak sang otoriter NAZI yang menghabisi hampir sebagian ras Yahudi. Meski banyak spekulasi mengatakan, bahwa Adolf Hitler hanya membantai Yahudi kotor (orang yang bukan keturunan Yahudi asli beragama Yahudi).

Dari sinilah mulai terlihat bahwa Islam hadir membawa isyarat kedamaian sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan) yang mampu bersikap bijak akan setiap perbedaan.

Perbedaan merupakan sebuah fitrah dari Tuhan untuk kita semua karena seorang manusia tidaklah terlahir ke dunia kecuali karena perbedaan orang tuanya. Perbedaan antara pria dan wanita, sperma dan ovum, testosteron dan progesteron. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita bijak menghadapi sebuah perbedaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bukankah Bhineka Tunggal Ika adalah landasan persatuan dan kesatuan Indonesia, lantas mengapa rakyatnya banyak yang berselisih hanya karena perbedaan ormas yang diikutinya, calon presiden yang dipilihnya, klub sepak bola yang didukungnya.

Jika perbedaan disikapi oleh prilaku seperti ini maka yang ada ialah bibit-bibit permusuhan, lantas bagaimana cita-cita bangsa dalam membangun peradaban akan tercapai jika rakyatnya tersibukkan oleh hal seperti ini.

Oleh karena itu, Islam sampai ke Tanah Air untuk membentuk kepribadian masyarakat Indonesia menjadi pribadi yang toleransi dalam berbagai aspek. Akan tetapi Islam yang moderat dan penuh akan toleransi bukanlah Islam yang tanpa batasan.

Islam menjunjung tinggi toleransi dan nilai persatuan, bahkan Islam membina penganutnya agar memiliki karakter yang menghargai perbedaan karena Islam tahu bahwa suatu bangsa akan maju jika bisa memadukan setiap perbedaan didalamnya dan mensinkronkan budaya dengan nilai-nilai agama.

Kita lihat Islam di zaman Rasul belum diangkat menjadi nabi, saat itu ka'bah dikelilingi oleh kaum musyrik dan ahli kitab. Kala itu, orang-orang berthawaf (mengelilingi ka'bah) dengan cara-cara yang mengandung kesyirikan dan ketika Muhammad bin Abdullah diutus menjadi Nabi dan Rasul, maka segala bentuk kesyirikan yang terjadi di Kota Mekah dan di sekitaran ka'bah beliau berantas, budaya thawaf tidaklah dihilangkan tapi justru disinkronkan dengan syariat Islam.

Memang tidak semua budaya pada saat itu dijadikan bagian dari syariat Islam akan tetapi hanya sebagian budaya yang memiliki manfaat besar bagi umat saja yang dijadikan syariat Islam.

Dan hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini, banyak yang keliru dalam memahami Islam yang moderat dan kaya akan nilai-nilai toleransi. Mereka menganggap bahwa yang dimaksud Islam yang moderat ialah yang bisa tunduk dan patuh secara absolut terhadap budaya nusantara.

Bukan, bukan seperti itu yang dimaksud dengan Islam moderat yang bisa membangun peradaban. Hal itu akan seperti Turki pada masa Kemal Attaturk, men-Turki-an Islam dan merubah konsep dasar ajarannya serta dipaksa tunduk dengan budaya Turki. Akan tetapi yang dimaksud Islam moderat yang dicita-citakan bangsa ialah Islam yang para penganutnya bisa kaffah dalam menjalankan segala syariatnya.

Jika kita melihat akhir-akhir ini, isu-isu agama diangkat sebagai bahan politisasi dan adanya upaya-upaya mensekulerkan Indonesia oleh berbagai pihak, sehingga timbul stigma-stigma negatif terhadap Islam seolah-olah Islam adalah agama intoleran.

Maka yang perlu dilakukan untuk menciptakan situasi kondusif dan Islam yang moderat bukan dengan cara menusantarakan Islam, karena wujud toleransi bukan dengan hilangnya perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat akan tetapi bagaimana masyarakat tersebut bisa memaknainya dengan pandangan jernih.

Perlu kita pahami bahwa moderasi Islam tidak akan pernah tercapai oleh penganutnya yang lemah dalam akidah sekalipun Islam itu dirombak serta disinkronkan dengan budaya nusantara. Malah dengan mencampuradukkan Islam dengan budaya nusantara akan membuat esensi dari syariat itu hilang.  

Islam moderat bukanlah upaya mengislamkan nusantara atau menusantarakan Islam, akan tetapi Islam moderat adalah upaya yang dilakukan agar agama Islam bisa hidup berdampingan dengan agama lain tanpa ada diskriminasi satu sama lain serta menjadikan penganutnya saling merangkul dengan umat dari agama lain untuk menciptakan suatu bangsa yang mandiri.

Bangsa yang terlepas dari cengkraman bangsa lain, bangsa yang kuat dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama.

Ahmad Rifa'i Yusuf N
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Tidak ada komentar

© Dakwahpos 2024