Tragedi Kanjuruhan Akibat Kelalaian Semua Pihak

Kericuhan di stadion Kanjuruhan, Malang, yang terjadi pada Sabtu (01/10/2022), menggegerkan dunia persepakbolaan di Indonesia. Pasalnya, kericuhan yang terjadi usai pertandingan Arema FC versus Persebaya itu mengakibatkan ratusan orang meninggal dan korban terluka.

Peristiwa tersebut diawali dengan kekalahan yang dialami Arema FC dengan perolehan poin 2-3. Dari kekalahan tersebut, terdapat satu suporter yang turun ke lapangan dan memprovokasi suporter lain untuk ikut turun ke lapangan.

Lama-kelamaan, makin banyak suporter yang turun ke lapangan sehingga anggota pengamanan mengerahkan kekuatan dengan perlengkapan penuh. Termasuk aksi yang dilakukan adalah penembakan gas air mata untuk mencegah makin banyaknya penonton yang turun ke lapangan.

Akibat penembakan gas air mata itulah, penonton menjadi panik dan berusaha keluar dari stadion. Namun yang terjadi adalah penonton harus berdesak-desakkan karena pintu 14 hanya terbuka 1,5 meter dan tanpa steward  yang menjaga pintu tersebut. Sehingga di situlah banyak korban berjatuhan yang mengalami patah tulang, terinjak-injak, trauma, dan cedera lainnya.

Dikutip dari Tempo.co, ternyata PT LIB tidak melakukan verifikasi terhadap stadion yang dipakai. Dan yang dipakainya adalah hasil verifikasi pada 2020.

Di samping itu, penjualan tiket pun melebihi batas yang seharusnya. Di mana harusnya hanya menjual 38 ribu tiket, tapi rupanya hingga 42 ribu tiket yang terjual. Dan rentang jumlah penjualan tiket itu tidaklah sedikit sehingga membuat suasana stadion makin sesak.

Sebelumnya, Polri juga menyarankan PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk melangsungkan pertandingan pada pukul 15.30 WIB dengan faktor pertimbangan keamanan. Namun PT LIB menolaknya karena alasan masalah penayangan siaran langsung hingga kerugian ekonomi.

Dari beberapa hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa tragedi Kanjuruhan ini terjadi akibat kelalaian semua pihak. Pertama, suporter yang tidak terima atas kekalahan Arema. Padahal, kalah menang adalah suatu hal yang biasa dalam sebuah pertandingan.

Kedua, PT LIB yang anehnya malah menggunakan verifikasi stadion tahun 2020 dan menjual tiket melebihi batas. Hal ini fatal sekali meskipun seandainya tidak ada suporter yang turun ke lapangan. Selain itu, PT LIB juga mengutamakan keuntungan di pihaknya dibanding keselamatan dengan menolak saran Polri untuk mengubah jadwal pertandingan. Lalu, steward yang seharusnya berjaga di pintu pun malah menghilang sehingga kerumunan massa di pintu 14 makin menjadi-jadi.

Ketiga, yaitu aparat kepolisian yang buru-buru menembaki gas air mata ke arah tribun. Karena penembakan gas air mata inilah yang membuat suporter panik sehingga berdesak-desakkan untuk berusaha keluar dari stadion. Akibatnya, banyak korban berjatuhan dalam peristiwa tersebut.

Selain membuat panik, penembakan gas air mata juga tidak patut dilakukan  karena hanya memperkeruh keadaan. Seperti yang diketahui, gas air mata memberikan dampak kesehatan yang fatal bagi orang-orang yang terkena gas air mata. Seperti pandangan kabur, sesak napas, iritasi kulit, mata merah, dan dampak lainnya. Apakah dengan ditembakkannya gas air mata, otomatis membuat penonton keluar lapangan dengan aman dan selamat? Nyatanya tidak. Yang ada hanya korban yang berjatuhan, bahkan merenggang nyawa di tempat.


Habibah, KPI 3B

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023