Peristiwa Berdarah Kanjuruhan

 Olahraga sepak bola merupakan olahraga dengan suporter atau pendukung terbanyak di dunia. Termasuk juga di Indonesia, sepakbola sudah mendarah daging dikalangan suporter sepakbola tanah air. Setelah melewati masa pandemi covid 19, pertandingan-pertandingan olahraga, tak terkecuali sepakbola sudah digelar dengan kehadiran penonton di tribun. Hal ini disambut antusias baik bagi pemain maupun pendukung, timnas ataupun tim regional.

Namun, tak jarang ajang perhelatan kompetisi sepak bola malah dijadikan ajang baku hantam sesama suporter. Miris, perhelatan yang mana seharusnya menciptakan kabut haru justru menjadi malapetaka tak berujung. Sudah menjadi hal yang biasa bila terjadi bentrok antar suporter kedua tim yang bertanding. Sudah semestinya ketertiban penonton ditegakkan, semua penonton yang hadir berhak mendapatkan kenyamanan dan keamanan  ketika berada di stadion.

Belum lama ini, telah berlangsung pertandingan antara Persebaya Surabaya melawan Arema Malang, hari Sabtu, 1 Oktober 2022 yang berlangsung di Stadion Kanjuruhan Malang. Pertandingan dimenangkan oleh arek suroboyo, dengan skor akhir 3-2 atas Arema Malang. Hasil ini memutus kemenangan beruntun Arema selama 23 tahun berturut-turut. Kemenagan Persebaya atas Arema memicu amarah para suporter arema, tanpa pikir panjang mereka membuat keonaran dengan merusak fasilitas tribun, berlarian lalu membakar mobil-mobil polisi polisi, karena keadaan yang tak terkendali POLISI menyemprotkan gas air mata. Alih-alih membubarkan massa, semprotan gas air mata tersebut malah menjadi petaka baru dalam kasus kerusuah yang tengah berlangsung. Karena merujuk pada peraturan FIFA yang melarang membawa gas air mata ke dalam stadion guna keamanan dalam stadion.

Oleh sebab itu, banyak pihak yang menyalahkan POLISI atas keputusannya menggunakan gas air mata guna membubarkan massa. Statemen ini bisa jadi benar, bisa jadi salah. Karena tidak akan ada asap kalau tak ada api. Atas terjadinya kerusuhan ini banyak dari supporter yang tak bersalah menjadi korban anarkisme massa yang tak terima kekalahan tim kesayangannya. Hal ini sangat amat disayangkan, karena merugikan banyak pihak. 

Sebagai pecinta sepak bola tanah air, dan sebagai rakyat Indonesia yang bermoralkan Pancasila, sudah seharusnya kita tidak mengedepankan rasa sombong dan arogan atas dukungan terhadap tim kesayangan. Karena sejatinya dalam pertandingan pasti ada yang menang dan juga kalah. Tinggal siapa yang benar-benar memiliki mentalitas juara, yaitu siap menang dan siap pula untuk kalah. Ke-depannya semoga tidak terulang lagi kejadian memilukan seperti ini, yang sudah terjadi akan menjadi sejarah dimasa depan yang dapat dijadikan pelajaran. Maju terus persepakbolaan tanah air Indonesia.


Siti Nur Salsabilah / Mahasiswi Jurusan KPI UIN SGD Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023