Arogansi kultural pada masyarakat saat berkendara

Oleh: Zulfa Yusriyyah 
Arogansi di jalan tak sendiri dipertontonkan dengan aktifitas melanggar aturan. Praktik ini juga mempertontonkan permintaan prioritas. Bagaimana hanya untuk alasan malas antre, ada rombongan yang menyewakan pengawalan kebablasan hingga seorang kirnya meminta prioritas.
Jika arogansi yang berwujud pelanggaran aturan buah bisa amat getir, yakni membingungkan horizontal. Terjadi adu mulut, adu jotos, bahkan mungkin adu pistol. Nah, untuk arogansi yang berwujud permintaan prioritas di jalan buahnya bisa menyuburkan kesinisan atau memperlebar sosial. Antara si lemah dan si kuat kian besar jaraknya. Sinisme tadi juga bukan pada suatu titik menimbulkan masalah horizontal sesama pengguna jalan. Cuma nunggu momentumnya. Sekali sundut, meledak.

Indonesia semulanya dikenal sebagai negara yang mencerminkan sopan santun dan keramahtamahan masyarakat, sebagai contoh kecilnya di tradisi jawa seseorang akan menundukkan sedikit badannya saat melintas di depan seseorang lainnya, atau budaya mencium tangan kepada orang yang lebih tua. Contoh tersebut adalah bukti dari cerminan keramahtamahan masyarakat kita.

Namun berbeda fenomenanya apabila masyarakat dihadapkan dengan kegiatan berkendara di jalan raya, problematika kultural bangsa ini menjadi persoalan sebab menimbulkan arogansi masyarakat. Faktor termungkin dari problem ini bermacam - macam, mulai dari faktor ekonomi yang mungkin saja dilatarbelakangi oleh emosi yang timbul dari ruang lingkup pekerjaan seseorang, kemudian emosi tersebut terluapkan saat berkendara untuk pulang.

Atau disebabkan oleh faktor budaya yang semakin terkikis oleh westernisasi (budaya barat) yang mendahulukan kepentingan pribadi daripada publik, sehingga arogansi masyarakat semakin meningkat ketika dihadapkan dengan situasi yang banyak bersentuhan dengan orang banyak seperti di jalan raya. Atau desebabkan karena adanya depresi sosial yang disebabkan oleh rasa keamanan, kenyamanan, keadilan dan kesejahteraan yang tidak terpenuhi di kalangan masyarakat.

Menurut Mudji Sutrisno (pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara), depresi sosial tersebut kian menjadi-jadi karena media, terutama televisi, juga mempertontonkan kekerasan. Lembaga atau tokoh yang diharapkan memberikan teladan ternyata justru menjadi bagian dari masalah. Sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah atau yang biasa dikenal dengan distrust society, fenomena ini ditandai dengan naluri merusak dan kemarahan terpendap mudah meluap di ruang-ruang publik.


Mahasiswi KPI UIN SGD Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023