Tak Paham Substansi Mudah Terprovokasi

Oleh : Nadzar Akbar Firdaus

Seharusnya ini  mudah dimengerti dan diaplikasikan  dalam kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Namun kenyataannya tidak, bahwa "Demokrasi" dan Anarki" adalah dua hal yang berbeda. Meski ada satu moment dua duanya dalam satu titik area. Lalu perdebatan tentangnya menjadi pertikaian sengit yang menghabiskan waktu dan energi hanya sia-sia saja dari masa ke masa. 

Meski demikian, cukup sederhana untuk membedakan "unjuk rasa" dan "anarki". Unjuk rasa untuk menyalurkan aspirasi sedangkan anarki untuk merusak bahkan menghancurkan. Tidak perlu membaca berjilid jilid buku atau duduk di bangku perguruan tinggi untuk memahami perbedaan itu. Kerusuhan dan aksi anarki yang terjadi di ibukota dan setiap daeah secara serentak pada pekan lalu dan sudah jelas dirancang sedemikan rupa. Begitu kasat mata dan mudah diketahui. Sedihnya bukan hanya dilakukan oleh kalangan awam yang minim bacaan, melainkan kaum terpelajar, akademisi yang artinya ada kemerosotan secara intelektual, integritas dan moral. 

Problem serius ada generasi muda kita adalah kurang membaca, minimnya literasi bahkan hingga leverl mahasiswa dan sarjana. Di tahun 2016, indonesia masuk peringkat ke-60 dari 61 soal minat membaca. Sebaliknya indonesia berada di peringkat atas sebagai bangsa pemilik smartphone dan pengguna media sosial terbesar di dunia. Konon juga, "bangsa paling berisik di Twitter". Dengan kata lain bangsa paling mudah diprovokasi dan dihasut. Digerakkan untuk melakukan hal tak banyak mereka pahami. Fenomena Bu Tejo dalam film pendek berjudul "Tilik" menggambarkan keniscayaan dalam kehidupan kota dan desa saat ini. Realitas semu di Handphone lebih nyata dari yang sesungguhnya. 

Banyak sekali video memalukan yang beredar di media sosial kini mempertontonkan para mahasiswa dan pelaku demo tapi tidak tahu apa yang didemokan. Protes untuk apa yang tak tahu diproteskan. Memakai jaket almamater dan menyebut "demo damai" tapi merusak fasilitas dan mobil aparat. Sungguh mahasiswa kualitas rendah. 

Minim literasi menjadi masalah pokok generasi muda kita. Akibatnya mudah terhasut, mudah ditipu. Selain minim literasi bukan hanya teks, buku dan referensi melainkan juga literasi digital. Mereka mengira bahwa jejak digital mudah dihapus dan tak bisa dilacak kembali. Dan yang paling penting letak problemnya bukan hanya pada si penipu dan provokator. Tapi khalayak yang percaya dan menerim hasutan mereka yang karena kebodohannya mudah dipercaya.

Penulis, Mahasiswa KPI UIN SGD Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023