Ibadah Bisa Anywher dan Everytime

Oleh: Alwi Salma 

Esensi penciptaan jin dan manusia tiada lain untuk beribadah (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ibadah adalah perbuatan seorang mukallaf (yakni orang yang terbebani hukum) menyalahi keinginan hawa nafsunya sebagai pengagungan kepada Tuhannya (Syeikh Al-Jurjani, Al-Ta'rifat, 1/123). Klasifikasi beribadah secara universal menjadi dua bagian. (1) Ibadah mahdhah/keshalehan spiritual (langsung kepada Allah SWT), seperti sholat, puasa, dzikir, haji, dan sebagainya. (2) Ibadah ghairu mahdhah/keshalehan sosial (bersifat tidak langsung, melalui perantara makhluk), seperti zakat, sedekah, tolong-menolong, dan sebagainya.

Saat ini, umat manusia sedang menghadapi tantangan realitas berupa pandemi Covid-19. Mengakibatkan, adanya pergeseran kebudayaan tradisional menuju kebudayaan teknologi (virtual) dan pergeseran tekstualisasi ibadah menuju kontekstualisasi ibadah.

Para ulama, sejak dahulu sudah memberikan solusi/alternatif (Fiqh Iftiradhi/antisipasi) dalam menghadapi kondisi darurat. Setidaknya, ada empat perspektif keterkaitan ibadah.

1. Perspektif Ilmu Fiqh
Kaidah-kaidah hukum Fiqh dalam menghadapi kondisi manusia (حالة الانسان) terbagi menjadi dua bagian: (1) Halah ikhtiyariyah (kondisi normal). (2) Halah istidhariyah (kondisi darurat).

Halah ikhtiyariyah menggunakan hukum azimah artinya hukum dasar atau ideal yang umum dilaksanakan. Halah istidhariyah, menggunakan hukum rukhshah artinya hukum alternatif atau keringanan yang dapat diterapkan pada kondisi-kondisi darurat seperti masa pandemi saat ini.

Sebagai salah satu contoh. Sholat yang ideal adalah dilaksanakan dengan  cara yang benar, khusyuk, berjemaah dan dilakukan dalam skala besar. Akan tetapi, muncul pertanyaan bahwa jika ada seseorang yang merasa tidak khusyuk saat berjamaah, sedangkan sendiri lebih merasa khusyuk. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengemukakan tetap lebih utama sholat berjamaah, karena penilaian sholat berjamaah bersifat kolektif tidak dinilai secara perorangan dan dapat dijadikan syiar keberadaaan Islam tidak hanya sebagai ritual keagamaan saja.

Namun, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa sholat sendiri dengan hadirnya hati (khusyuk) lebih utama daripada sholat berjamaah tetapi tidak khusyuk. Karena, khusyuk merupakan bagian dari rukun sholat. Pendapat beliau, dapat dijadikan pilihan alternatif (rukhshah) dalam kondisi pandemi saat ini

Peribadahan, dapat dilaksanakan dimana saja (fleksibilitas), tidak hanya terbatas pada rumah peribadahan. Rasulullah SAW, bersabda :
جعلت لى الأرض مسجدا وطهورا (رواه مسلم)
Artinya: Telah dijadikan untukku bumi sebagai masjid (tempat sujud) dan suci (HR. Muslim).

Dengan demikian, berdasarkan hadits di atas dapat dijadikan justifikasi serta pedoman dalam beribadah dimana saja. Para ulama Salafusshalih mengintrodusir bahwa adanya keutamaan dalam melaksanakan ibadah sunnah di dalam rumah:
قال بعض السلف: إن فضل صلاة النافلة في البيت كفضل الفريضة في المسجد
 Artinya: berkata sebagian Ulama Salafusshalih : "Sesungguhnya keutamaan Shalat Sunnah (seperti: Tarawih) dilaksanakan di rumah, seperti keutamaan sholat fardhu dilakukan di masjid".

2. Perspektif Ilmu Tasawuf
Dalam perjalanan ruhani (suluk) para Sufi, untuk meraih cinta Allah (waliyullah) tidak terbatas pada tekstual simbol tempat peribadahan. Sebagai justifikasi, (1) Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mendapatkan maqom kewalian setelah melakukan ibadah mujahadah al-nafs selama 25 tahun di padang pasir, dibawah bimbingan Imam Abi Said Al-Mubarok Al-Mahzumi. (2) Sunan Kalijaga, menempa kekuatan rohaninya selama dua tahun di samping sungai Berantas, dibawah bimbingan Sunan Bonang. (3) Al-Imam Al-Habib Abu Bakar Bin Muhammad Assegaf (Gresik, Jawa Timur) melakukan khalwat di kamar rumahnya selama 15 tahun untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.

Dengan demikian, Islam tidak jumud yang "mengharuskan" penganutnya sesuai dengan legal formal berupa masjid, musholla atau Majelis Ta'lim. Terdapat, alternatif lainnya sebagai tempat untuk bersenang-senang dengan Allah SWT.

3. Perspektif Ilmu Tauhid
Menanggapi wabah covid-19, setidaknya ada tiga sudut pandang (point of view) aliran teologis:

a. Faham Jabbariyah: berfokus hanya sepenuhnya terserah Allah SWT. Meskipun salaman dengan penderita virus, tidak pakai masker, mendatangi dan menciumi korban, bila belum takdirnya juga tidak akan mati. Ringkasnya, jabbariyah memandang menyerahkan kepada Allah tanpa adanya ikhitiar.

b. Faham Muktazilah: berprinsip bahwa apa yang menurut akal tanpa diikuti takdir Allah SWT.

c. Faham Ahlussunnah Wal Jamaah: melakukan ikhtiar secara dhahir dan batin. Berdoa dan saling mendoakan sebagai tawakal kepada Allah SWT. Ringkasnya, Ahlussunnah Wal Jamaah memandang moderat, ikhtiar dan pasrah kepada Allah SWT secara berdampingan.

Faham Ahlussunnah Wal Jamaah ini, diikuti oleh pemerintah Republik Indonesia. Sehingga, menerapkan ikhtiar social dan physichal distancing, himbauan #Dirumahaja, serta istighatsah melalui media virtual. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan pemerintah sesuai kaidah keislaman. Maka menuruti kebijakan pemerintah dapat bernilai ibadah. Allah SWT, berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu (QS. An-Nisa: 59).

4. Perspektif Historis
Secara historis, social distancing pernah terjadi di masa para sahabat Rasulullah SAW. Suatu ketika, Sayyidina Umar bin Khattab sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di suatu wilayah bernama Sargh. Sayyidina Umar bin Khattab mendapat kabar adanya wabah di Syam. Sahabat Abdurrahman bin Auf, kemudian mengatakan kepada Umar bin Khattab, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda :
"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi, jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu". (H.R. Bukhari)

Kesimpulannya adalah ibadah dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tidak sebatas legal formal pada masjid, musholla dan majelis ta'lim. Senantiasa, dilaksanakan di rumah atau tempat pekerjaan sekalipun. Kerangka pemikiran ibadah, mesti Ihsan. Rasulullah SAW, bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه مسلم)
Artinya: "Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan engkau melihat Nya, maka bila engkau tak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu" (H.R Muslim).

Mari tunjukkan loyalitas, kualitas dan kuantitas peribadahan dengan berbagai variatif dimulai sholat tarawih, membaca Al-Quran, dzikir berupa sholawat kepada Rasulullah SAW, dan amal shalih lainnya.

Referensi :
1. Al-Quranul Karim
2. Kitab Mukhtar al-Hadits an-Nabawiyah karya Sayyid Ahmad Al-Hasyimi.
3. Kitab Minahus Saniyah karya Sayyid Abdul Wahab Asy-Sya'rani
4. Kamus Mu'jam At-Ta'rifat karya Al-Allamah Sayyid Ali bin Muhammad Al-Jurjani
5. I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah karya K.H. Siradjudiin Abbas

Alwi Salma
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
No. HP : 089515291971
Alamat Rumah : Kp. Gandamekar RT/RW 02/11, Desa Gandamekar. Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, 44153

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023