Wajar BPJS Naik


Oleh: Isna Nurul Itsnaini

Membaca berita kemarin ihwal BPJS bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan pada rapat bersama Komisi XI DPR RI. Iuran program jaminan kesehatan nasional itu diusulkan naik mulai 1 Januari 2020 dalam rangka menambal defisit keuangan BPJS yang mencapai Rp 32,8 triliun. 

Usulan kenaikan tersebut mencapai 100% atau dua kali lipat. Untuk pengguna BPJS kelas Mandiri I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per peserta per bulan. Lalu, iuran kelas Mandiri II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 110 ribu. Sedangkan, iuran kelas Mandiri III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu. 

Permasalahan ini pun sudah jauh diprediksi, indikasinya adalah ketika pembentukan BPJS dimodali awal yang kecil oleh pemerintah tahun 2013 silam, lantas ditambah dengan iuran dari perusahaan, rakyat, dan lainnya juga kecil. Ungkap Rizal Ramli dalam acara Fakta TVOne, Senin (2/9). 
Menurut Direktur BPJS Kesehatan ada lima faktor mengapa merugi; pertama, memang sama, yakni premi yang ditetapkan pemerintah belum sesuai hitungan aktuaria. Untuk kelas 2 misalnya besarnya iuran saat ini sebesar Rp 51.000 per bulan dari seharusnya Rp 63.000. Sehingga di kelas ini saja pemerintah harus mensubsidi Rp 12.000 per peserta. Untuk kelas 3, hitungan aktuaria per peserta adalah Rp 53.000 tapi saat ini hanya membayar Rp 25.500 sehingga ada subsidi Rp 27.500.

Lalu yang kedua, ujar beliau, konsep BPJS Kesehatan adalah gotong-royong yakni warga mampu memberikan subsudi kepada yang kurang mampu belum berjalan penuh. Kenyataannya, masih banyak peserta mandiri yang membayar iuran hanya pada saat sakit dan selanjutnya menunggak. Sisanya soal-soal tektek-bengeknya, seperti data peserta yang salah, manipulasi gajih karyawan, dan penyalahgunaan regulasi. 

Direktur  BPJS Kesehatan pun telah mengambil langkah, dengan membuat peraturan yang membatasi standar pelayanan, misal tentang katarak, persalinan ibu dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Operasi katarak hanya bisa dilakukan ketika pasien minimal mengalami gangguan penglihatan sedang. Untuk persalinan dengan bayi lahir sehat, BPJS hanya mau membayar biaya pengobatan ibu. Dalam kasus ini, dokter anak tidak ditanggung BPJS lagi. Langkah yang diambil Direktur BPJS Kesehatan ini semakin meneguhkan ada yang tidak beres dalam program Kesehatan Indonesia.

Pembatasan begini secara prinsip memang terasa aneh, karena sejatinya BPJS adalah jaminan kesehatan untuk rakyat, tapi pada akhirnya pelayananya dibatasi, padahal orang sakit bukan atas pilihannya - melainkan sudah nasibnya begitu, sehingga akan menjadi pertanyaan besar "apakah benar jaminan kesehatan untuk rakyat?"

Penulis: Mahasiswi KPI UIN SGD Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023