Karhutla Nyaris Renggut Nyawa! Lantas Solusinya?

Oleh: Dini Shaumy

Terus menerus warga negara Indonesia tak ada hentinya dirundung rasa cemas, resah dan gelisah. Belum usai masalah kondisi ekonomi, politik dan lain sebagainya. Kini hadir kembali masalah kondisi alam yang semakin mencekam, kabut asap kian menyiksa. Ketika alam kehilangan tempatnya berpijak. Mungkin seperti itu gambarannya. Apakah ini ulah petinggi-petinggi? Entahlah. Atau mungkin ulah manusia? Kita kupas tuntas siapakah penyebabnya.

Kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) semakin pekat mencekam menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau dan sekitarnya. Bahkan, kini kabut asap sudah menyebrang luas sampai di negeri Malaysia. Mereka berharap pemerintah Indonesia segera mengatasi kabut asap (karhutla), supaya tidak mengganggu aktivitas mereka. 

Pusat BMKG Kota Pekanbaru mencatat, bahwasannya titik api semakin meningkat. Titik api yang tersebar kurang lebih ada 239 titik, yang mengakibatkan kebakaran hutan mencapai ribuan hektar. Sehingga, warga semakin resah karena tingkat udara yang tinggi dan semakin buruk hingga menempuh tingkat berbahaya. Akibatnya, warga mengeluhkan sesak nafas, iritasi kulit, dan sakit mata.

Kupas tuntas, akhirnya terkuak siapa yang lebih mendominasi akibat kebakaran hutan dan lahan di Kota Pekanbaru, Riau adalah sebab ulah manusia sendiri. Pada tanggal 9 September 2019, Polda Riau sementara menetapkan 42 tersangka kasus (karhutla). Mungkin sekarang tersangka sudah bertambah. Mereka membakar hutan dan lahan bertujuan untuk membangun lahan perkebunan. Sungguh miris dan ironis sekali, hanya karena demi mendapatkan imbalan yang nominalnya tidak banyak, mereka tega menyiksa dan membunuh ratusan sampai ribuan jiwa saudaranya sendiri.

Lantas bagiamana solusi mengatasinya? Apakah harus saling beradu argumen antara petinggi-petinggi dengan warga negara Indonesia supaya kondisi alam kembali normal? Tidak sama sekali. Solusi yang lebih baik adalah bekerja bersama-sama antara petinggi-petinggi negara Indonesia dengan masyarakat Indonesia melalui gotong royonguntuk membantu menanggulangi asap dan memadamkan kobaran api yang masih membara. Khususnya untuk pemerintah, supaya lebih memperhatikan lagi kondisi masyarakatnya dengan lebih siaga. Serta untuk pelaku kasus (karhutla), lebih adil di hukum dengan sejera-jeranya sesuai dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 78 ayat 3 berisi tentang pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi kurungan 15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar atau dengan hukuman mati. Sebab, itu setimpal dengan nyawa masyarakat korban kabut asap yang meninggal dan nyaris terenggut nyawa. Maka dari itu, gotong royong dan siaga bersama-sama solusi utama.

Dini Shaumy, Mahasiswa KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023