Beratkan Sanksi Tikus Berdasi

Oleh: Isna Nurul Itsnaini

Kasus korupsi sudah sering terjadi, dari tahun ke tahun, dalam tiap pemerintahan yang berbeda ada saja pasti kasus korupsi. Buktinya di zaman orde lama Sukarno sudah membentuk lembaga pemberantas korupsi, yang kita kenal sebagai Operasi Budhi dan diganti menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi). Pada orde baru, Suharto pun membuat lembaga pemberantasan korupsi yakni TPK (Tim Pemberantasan Korupsi).

Setelah itu di kepimpinan BJ Habibie, beliau juga mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN serta pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Kemudian,  pada masa Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Dan di pemerintahan Megawati dilahirkanlah KPK. 

Namun meski berungkali membentuk lembaga pemberantas korupsi nampaknya prilaku memalukan itu tetap subur di Indonesia. Acapkali kita nonton berita pasti yang didapatkan tentang korupsi dan korupsi lagi.  Mereka pun para koruptor saat ditangkap terlihat tentram, senyum, tanpa beban, saat keluar pun senyum lagi, tidak ada sama sekali roman muka yang malu merasa berdosa. Karena ya tentu - lantaran prilaku korupsi itu di Indonesia - ya mungkin memang sudah biasa saja. 

Mengutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 2002 hingga 2017, tercatat telah terjadi 341 kali perkara korupsi yang dilakukan oleh 12 partai politik. Kader PDIP merupakan juara dengan menyumbang 120 kasus, lalu disusul Golkar dengan 82 kasus. Ngeri sih, tapi biasa saja, karena hingga sekarang buktinya partai-partai ini masih tetap perkasa dalam pergulatan politik, di penghelatan pemilu-pemilu di seluruh daerah Indonesia, bahkan dalam pilres kemarin partai-partai tersebutlah yang memegang peranan penting dalam kesuksesan terpilihnya pemimpin-pemimpin sekarang.
Kita tidak lupa kasus BLBI,  Century, dan Hambalang yang hingga kini masih misteri. Lalu ada Ratu Atut Gubernur Banten yang didakwa terbukti melakukan pengadaan alkes Banten dengan merugikan negara sebesar Rp 79 miliar. Kemudian Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi, ditetapkan tersangka atas kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambanga (IUP) di daerahnya, sehingga negara mengalami kerugian mencapai Rp 5,8 triliun. 

Tak ketinggalan kasus mega korupsi E-KTP yang membuat geger satu Indonesia, dan mengalami perjalanan panjang dari 2011 hingga 2014, yang telah menyeret banyak nama, diantaranya adalah mantan ketua DPR, Setya Novanto, KPK pun mengatakan kasus ini sudah merugikan Rp2,3 triliun. Dan kemudian kasus sekarang, masih hangat, baru kemarin sore, bahwa dikutip dari CNN Rabu (18/09/2019), dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pemberian dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) telah menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, sebagai tersangka, beliau pun langsung memundurkan diri dari jabatan mentrinya dan meminta maaf kepada Jokowi. 
 
Lantas Prilaku Korupsi di Indonesia Kebutuhan atau Kerakusan?
Saya yakini kebutuhan, mengapa? Mari kita simak Indeks Corruption Perception Index (CPI); dalam data tersebut, Indonesia memiliki skor 37, naik satu angka dari 2017, namun masih terpaut jauh dari Malaysia yang mengantongi skor 47. Dalam wilayah ASEAN  peringkat pertama milik Singapura yang memperoleh skor 85 - di wilayah Asia tersebut tak ada yang mampu bertengger bersamanya, lalu yang kedua adalah Brunei Darussalam dengan meraih skor 63. Maka, dari data itu saja kita bisa mengambil hikmah bahwa Indonesia terhadap korupsi biasa saja, lumrah, dan memang sudah kebutuhan, bukan suatu gejala penyakit yang amat mematikan yang mampu melumpuhkan sendi-sendi bernegara. Padahal sudah berungkali dibentuk lembaga pemberangus korupsi.
Bukti korupsi itu kebutuhan adalah hukuman bagi korupsi; Indonesia dari sejak dulu kala seolah tidak serius melawan korupsi, mereka para koruptor hanya dihukum beberapa tahun saja padahal duit negara yang mereka mainkan triliunan rupiah, dendanya pun cuman puluhan juta yang tak sebanding dengan kerugian negara akibat ulah mereka. Selain itu para koruptor Indonesia pun mendapat fasilitas penjara mewah, di dalamnya dilengkapi AC, kulkas besar, televisi, dan kamar mandi pribadi, bahkan dikutip dari berbagai media narapidana koruptor bisa masuk keluar tanpa dikawal dengan cukup menggunakan izin penunjukan medis yang dikeluarkan langsung oleh petugas penjaranya. Seperti pada tahun 2010, Media Indonesia pernah melaporkan bahwa petinggi pajak Gayus Tambunan, narapidana korupsi yang sedang menjalani masa tahanan, sempat terlihat ketika turnamen tenis internasional di Bali.
Bukti kedua korupsi itu kebutuhan, yakni mantan koruptor di Indonesia boleh nyaleg lagi, demikian dinyatakan langsung oleh MA dalam putusan uji materi  pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu. Sebab menurutnya larangan mantan koruptor bertentangan dengan UU pemilu. Padahal secara logika kita masyarakat yang ingin bekerja saja mesti memiliki riwayat berkelakuan baik, mesti memakai surat SKCK dari kepolisian. 
Dan bukti yang terakhir bahwa korupsi merupakan kebutuhan adalah revisi UU KPK yang alih-alih upaya mengkuatkan justru negara sedang berusaha mempreteli kekuatan KPK - padahal Jokowi sudah berjanji dalam debat pilres kemarin akan memperkuat KPK, praktik kontroversi ini tak ubahnya angkot yang sedang dikejar setoran; DPR pengen buru-buru mensahkan, tanpa mendengarkan kritik public, dan tanpa melibatkan KPK itu sendiri. KPK menjadi tidak independensi lagi, senjatanya dilemahkan, ketua barunya pun masih menjabat sebagai kapolda Sumatra Selatan. 

Oleh sebabnya, jika korupsi bukan kebutuhan lantas mengapa sikap pemerintah terhadap korupsi macam begitu, dari tahun ke tahun tak ada perkembangan, yang ada malah mengalami penyusutan. Bila memang negara anti korupsi, tidak butuh korupsi, semestinya negara tidak ada toleran sama sekali terhadap prilaku keji itu, tidak boleh mereka diberi nafas sedikit saja di ruang politik sosial, buat mereka kapok, bukan malah terus-menerus dimanjakan,  bahkan malah dibantu peluang korupsinya lewat karya UU, yang sudah memang mereka nyolong uang rakyat lalu dihukum oleh kemewahan, eh sekarang malah dibuat tangguh lewat aturan baru yang membela mereka.


Penulis, Mahasiswi KPI UIN SGD Bandung.

Tulisan pernah di muat di Media Indonesia 27 September 2019

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023