Tantangan Agama Islam di Era Modern

Judul Buku : Islam Tuhan Islam Manusia
Penulis : Haidar Baqir
Penerbit : Mizan
Tebal : xxxiii + 288
Cetakan I & II : Maret 2017 & April 2017
ISBN : 978-602-441-016-2

Manusia abad mutakhir sering lupa. Jika sudah berTuhan, lupa bahwa ia juga seorang manusia yang harus hidup harmoni dengan sesame dan alam semesta. Juga sebaliknya, ketika sudah asyik dengan alam materi manusia lupa bahwa dirinya adalah sorang hamba yang harus mengabdi untuk ber-tuhan. Gesekan antara keduanya membuat manusia kehilangan keseimbangan berpikir. Akibatnya tidak seimbang pula dalam berkata, mengambil keputusan, bergaul, hingga bertindak. Ia sering gagal dalam melakukan serangkaian tafsir ayat suci dan hadis nabi hingga mampu mencapai kebenaran hakiki, absolute, seperti yang Tuhan inginkan.

Islam di Zaman Kacau

Haidar Baqir dalam bukunya Islam Tuhan Islam Manusia, mengingatkan bahwa manusia kini hidup di "Dunia Kita Yang Sedang Meluruh." Kenapa mengagetkan? Karena tesis Geyer, Kolumnis dan ahli panel televisi tentang persoalan-persoalan dunia yang telah meraih berbagai hadiah berkat reportase dan komentar-komentar internasionalnya, adalah bahwa dunia kita ini tak bisa lain sedang mengalami peluruhan yang mengerikan. Banyak negara yang sebelumnya dianggap amat kohesif dari segi struktural maupun spiritual, "telah tercabik-cabik, seperti partikel-partikel sosial kemanusiaan yang sedang menggandakan (membelah) diri menjadi bagian-bagian penyusunnya, yakni suku, klan, fundamentalisme keagamaan segala agama, geng kota, kelompok maut, gerakan teroris, dan gerilya, serta kelompok yang mementingkan diri lagi berang."(hal 17-18)

"Saya percaya, kita sekarang sedang menapak arah yang berbahaya," kata Javier Perez de Cuellar (hal 18). Jika kita tilik lebih jauh, salah satu gejalanya adalah krisis dalam pendekatan multilateral dalam urusan internasional, dan sejalan dengan itu, adanya erosi atau wewenang dari status pranata interpemerintah regional maupun dunia.

Cara manusia merespon teknologi perlu ditanyakan terhadap "Spiritualisme: masa depan manusia?" Sebab dari itu, adanya kecenderungan untuk menyeimbangkan keajaiban material teknologi dengan tuntutan spiritual fitrah manusia. Dan rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, paling sedikit ada empat lagi di antara sepuluh megatrends yang diperkirakan oleh Naisbit merupakan perwujudan apa yang disebutnya "tuntutan spiritual" itu – desentralisasi, demokrasi partisipatif, self help, dan jaringan kerja (network).
Teknologi sering membuat orang berpikir pragmatis. Ingin mencapai keridhaan Tuhan dan menggapai surge dengan cara instan. Hal inilah yang nantinya menjadi akar masalah lahirnya gerakan-gerakan radikal. Termasuk suatu paham divisive intra-Islam yang biasa disebut sebagai takfirisme, yaitu suatu paham atau gerakan radikal yang berakar pada ajaran untuk melabeli kelompok yang tidak sejalan dengan kelompoknya sendiri sebagai kafir.

Penulis buku ini memperingatkan pembaca untuk tidak tergiur dengan paradigma baru itu. Paradigma ini bersumbu pada ideologi takfirisme yang suka mempropagandakan kebencian (hal 168-169). Ideologi ini mengancam ideologi Pancasila dan NKRI (hal 172). Selain untuk bersikap moderat, buku ini juga mengajak pembaca untuk tidak gegabah dalam melihat masalah. Fenomena agama di Indonesia kontemporer cukup rumit. Banyak hal yang harus dipahami secara cermat. Relasi Sunni-Syi'ah, misalnya, yang beberapa waktu lalu mengeras sesungguhnya bukanlah berakar dari esensi, bukan pula berakar dari keindonesiaan kita. Esensi relasi keduanya adalah relasi penuh perdamaian. Kekacauan relasi keduanya di Tanah Air sesungguhnya lebih dipicu oleh faktor eksternal, yakni mengerasnya relasi Arab Saudi dan Iran (hal 159-175).

Peran Pemikiran Keagamaan dalam Sains

"Sungguhnya akan kami tunjukan tanda-tanda (ayat) kami, di ufuk-ufuk (alam semesta) dan pada diri mereka sendiri…" (QS Fushshilat 41:53). 
Artinya, disamping lewat al-Qur'an, kegiatan perenungan (dzikr) dan pemikiran rasional (fikr), pengetahuan tentang Allah Swt. dapat diketahui lewat observasi (tadabbur) atas tanda-tandanya di alam semesta itu, yakni gejala-gejala alam semesta. Oleh karena itu, integrasi ilmu dan agama mungkin lebih tepat disebut sebagai reintegrasi ilmu dan pemikiran keagamaan. Karena reintegrasi ilmu dan agama, tekadang disebut "Islamisasi ilmu", yang tidak hanya membahas soal haram-halal tetapi juga keseluruhan aspek horizontal maupun vertical. Secara lebih konkret, reintegrasi ilmu dan agama ini didasarkan pada kritik atas sifat reduksionis filsafat ilmu modern di ketiga domain tersebut, yakni reduksi ontologism, epistemologis, dan aksiologis.

Sebagai kumpulan tulisan, buku ini menunjukkan kelihaian penyuntingnya. Walaupun tulisan yang disajikan membahas topik yang luas dan beragam, masih bisa ditangkap struktur kemasuk-akalannya (plausibility structure). Ide-ide penulisnya bisa diramu secara padu. Kesinambangunan pikiran bisa disajikan secara logis dan nyaris tanpa lompatan. Walaupun memberikan bacaan yang penuh gizi, buku ini masih memiliki kelemahan. Banyak topik yang mestinya dibahas secara lebih mendalam hanya dibicarakan dalam beberapa halaman saja. Klaim Arab Saudi yang mendaulat dirinya sebagai imam kalangan Sunni, misalnya, merupakan topik yang membutuhkan penjelasan mendalam, tetapi buku ini hanya membahasnya sambil lalu (hal 160-168).

Ketidaktuntasan pembahasan ini menuntut pembaca untuk membaca buku lain, misalnya buku Khaled Aboe el-Fadhl (The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, 2005).

Kelemahan lain dari buku ini adalah rentang topik yang amat luas dan beragam yang meliputi bidang filsafat, pemikiran Islam, agama, tafsir, hukum, fikih, ideologi, politik, sosial, dan budaya, membuat pembaca merasa berat untuk memahami keseluruhan topik. Pembaca yang belum pernah bersentuhan dengan topik-topik itu akan merasa klieng-klieng (pusing). Namun, kelemahan itu adalah wajar untuk sebuah buku pemikiran yang berkualitas. Kelemahan itu tidak akan mengurangi kandungan gizinya.

Namun, hadirnya buku ini adalah sebuah bentuk keberuntungan bagi cendekiawan muda karena karangan Haidar Baqir "Islam Tuhan Islam Manusia" mampu membuka cakrawala pengetahuan kita, dari berbagai aspek dan polemik yang sedang melanda spiritualitas dunia yang sedang meluruh saat ini.
Selain itu, kelebihan buku ini memberikan solusi bagaimana agar umat Muslim mengembangkan kultur lapang dada dalam menyikapi perbedaan pandangan, Haidar menawarkan prinsip "persatuan umat Islam." Ia berpendapat bahwa mazhab boleh berbeda, bahkan intra mazhab juga terdapat variasi-variasi yang terkadang cukup kontras. Tapi di atas semuanya itu, ada prinsip-prinsip dasar, prinsip-prinsip umum yang semua mazhab dan kelompok dalam Islam berbagi. Itulah prinsip-prinsip utama (furu') agama itu, dan berbekal persamaan prinsip utama itu, kaum Muslimin dari semua kelompok dapat membangun persatuan yang menyebabkan sebagai satu umat mereka tetap bisa berkiprah dan memberikan kontribusi kepada kemanusiaan secara efektif. Itulah persatuan dalam kebhinekaan.

Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia, artinya adalah suatu kesalahan jika kita mengembangan pemahaman atas agama yang dilepaskan dari kebutuhan manusia. Agama Tuhan sesungguhnya pada saat yang sama adalah agama manusia. Bahkan sesungguhnya, kecuali kenyataan bahwa agama dipercayai sebagai bersumber dari Tuhan. Agama sepenuhnya adalah agama manusia. Karena itu, sudah sewajarnya agama ditafsirkan sejalan dengan bukan saja kebutuhan manusia , tapi juga perkembangan manusia dari zaman ke zaman. Karena tanpa itu semua, agama justru akan kehilangan relevansinya, dan tak lagi memiliki dampak bagi kehidupan umata manusia.

Reporter : Ando Adhi Putra, KPI 3A

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023