Kegelisahan atas keberagaman islam yang berbasis kekerasan

Judul Buku : "Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia: Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan"
Penulis : Dr. Aksin Wijaya
Penerbit         : PT. Mizan Pustaka
Tahun Terbit : 2018
Jumlah Halaman     : 292 Halaman
Harga Buku : Rp. 69.000,-

Buku yang berjudul "Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan" yang ditulis oleh Dr. Aksin Wijaya ini lahir sebagai respon terhadap kegelisahan teologis maupun kegelisahan humanis atas keberagamaan Islam berbasis kekerasan, baik di tingkat pemikiran, pemahaman, tindakan maupun gerakan. Aksin Wijaya menguraikan genealogi gerakan-gerakan kekerasan khususnya dari kawasan Arab klasik hingga zaman sekarang, termasuk Indonesia.

Sebagaimana dipaparkan Aksin Wijaya di dalam buku ini, sumber pertama kekerasan dalam dunia Islam berasal dari paham Khawarij dan gerakan politisasi agama oleh Mu'awiyah. Muslim akademis terpelajar tentu tidak menyukai keduanya. Khawarij tidak disukai karena banyak melakukan pengkafiran dan pembunuhan terhadap umat Islam, termasuk kepada Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Mu'awiyah tidak disukai karena melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Ali yang sah, melakukan politisasi agama, dan membasmi rival-rival politiknya.

Kita tahu, dalam sejarah Islam, peristiwa tahkim (rekonsiliasi menggunakan al-Qur'an) di zaman kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, sebagai fase terakhir kekhalifahan Islam, telah melahirkan tiga kelompok gerakan Islam besar. Pertama, gerakan takfiri yang dikenal sebagai kelompok Khawarij. Kedua, gerakan politisasi agama (islamisme) yang diprakarsai kelompok Mu'awiyah. Dan ketiga, gerakan pluralis yang tercermin dalam kelompok Ali bin Abi Thalib. Penisbatan kepada Ali bin Abi Thalib yang dimaksud dalam hal ini adalah Ali dalam posisinya sebagai figur intelektual yang oleh Nabi Muhammad Saw. disebut sebagai "pintu ilmu", bukan sebagai figur fanatik imam Syiah yang seringkali disalahartikan.

Ketiga kelompok gerakan Islam ini kemudian mengilhami terbentuknya kelompok gerakan Islam kontemporer. Aksin Wijaya menyebutnya sebagai Khawarij-Wahabi sebagai cermin retak Khawarij Klasik; gerakan islamisme sebagai cermin retak Mu'awiyah; dan gerakan pluralis sebagai cermin retak Ali bin Abi Thalib. Sebagai cermin retaknya, tentu saja nalar keislaman ketiga gerakan Islam itu sama dengan ketiga cermin rujukannya itu. Dua cermin retak yang pertama menawarkan nalar keislaman yang kaku, intoleran dan keras, sedangkan nalar cermin retak yang ketiga berwajah plural, toleran dan damai.

Dari deskripsi nalar keislaman tokoh-tokoh yang menjadi inspirator dan simbol gerakan Islam Khawarij-Wahabi dan Islamisme disimpulkan bahwa kekerasan yang mengatasnamakan agama dan Tuhan yang mereka lakukan selama ini lahir dari cara mereka menalar Islam, yakni menggunakan metode berpikir dialektis-dikotomis, menyederhanakan Islam menjadi tauhid uluhiyah, menerjemahkan tauhid rububiyah Tuhan secara politik dalam bentuk berdirinya pemerintahan Tuhan (al-hakimiyah al-ilahiyah).

Dalam pandangan gerakan ini, jika umat Islam tidak mendirikan pemerintahan Tuhan dan justru mendirikan pemerintahan manusia (al-hakimiyah al-basyariyah), maka umat Islam sebenarnya tidak berhukum dengan hukum Tuhan dan telah melakukan perbuatan syirik, munafik dan kafir. Bisa dikatakan, umat Islam menyembah thagut. Karena itu, dalam pandangan kelompok ini umat Islam wajib mengambil kekuasaan Tuhan yang sudah dirampas manusia itu dengan jalan jihad fi sabilillah.

Sebaliknya, deskripsi nalar keislaman tokoh-tokoh yang menjadi inspirator gerakan Islam pluralis, menjargonkan Islam kasih sayang (rahmah) dan kedamaian. Mereka menggunakan metode berpikir rasional-demonstratif, menerjemahkan rububiyah Tuhan tidak ke dalam wilayah politik, melainkan ke dalam bentuk kedaulatan atau otoritas Tuhan dalam memberikan ketentuan hukum bagi alam dan manusia. Gerakan Islam pluralis juga memaknai ulang konsep jihad, sembari menekankan ajaran rahmah daripada jihad fi sabilillah yang dibarengi teror, kebencian dan kekerasan.

Agamaisasi kekerasan yang tercermin pada gerakan Khawarij-Wahabi dan islamisme, pada umumnya lahir dari para penganut paradigma Islam teosentris, yakni pemahaman keislaman yang segalanya demi Tuhan. Menurut mereka, agama hadir demi kepentingan Tuhan. Manusia pun dikorbankan demi kehidupan Tuhan. Segala tindak kekerasan yang mereka lakukan selalu mengatasnamakan agama dan Tuhan dengan hanya memekikkan kalimat "Allahu Akbar", mereka menjadikan kekerasan sebagai bagian dari agama.

Sebaliknya, agamaisasi kedamaian, rahmah, dan kasih sayang lahir dari para pemikir pluralis yang menganut paradigma Islam antroposentris, suatu paham keislaman yang berporos pada kepentingan manusia. Dalam pandangan kelompok ini, agama hadir untuk membela manusia, bukan untuk menghancurkan manusia. Hidup harmonis dan damai di antara umat beragama menjadi cita-cita mulia agama itu sendiri. Pada akhirnya yang diharapkan adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada berbagai cara hidup, budaya, dan keyakinan yang berbeda-beda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja sama.

Kedua kelompok ini; Gerakan Islam Radikal (Khawarij-Wahabi dan islamisme) dan Gerakan Islam Plural, bagaikan dua kutub ekstrem yang saling berhadapan dan berbenturan, bahkan keduanya menjadi musuh bebuyutan.  Di era kontemporer, ideologi keduanya memunculkan akar baru, berupa Islam Khawarij-Salafi dan Islam Khawarij Wahabi melalui gerakan politisasi agama dengan tokoh-tokohnya al-Maududi dan Sayyid Qutb. Sedangkan Islam pluralis juga memunculkan akar baru yang dalam buku ini ditampilkan tokoh-tokoh seperti Muhammad Sa'id al-Asymawi, Muhammad Abu al-Qasim Haj Hammad, dan Muhammad Syahrur.

Buku yang ditulis Aksin Wijaya ini cukup strategis dalam menghapus kekerasan, sebab kritiknya sangat menohok pada penyebab maupun pelaku (aktor) utama kekerasan yang belakangan ini berusaha ditebar ke seluruh dunia. Namun demikian, sebuah kritik tentu saja membutuhkan solusi. Di sinilah Aksin Wijaya berusaha memberikan solusi dengan menunjukkan nalar Islam pluralis yang diekspresikan oleh Muhammad Sa'id al-Asymawi, Muhammad Abu al-Qasim Haj Hammad, dan Muhammad Syahrur. Melalui pemikiran mereka Aksin Wijaya hendak mentransformasikan paradigma umat Islam dari al-hakimiyah al-ilahiyah menuju al-hakimiyah al-basyariyah, dari jihad fi sabilillah menuju ar-rahmah al-ilahiyah, dan dari membela Tuhan ke membela manusia.

Namun demikian, kalau solusi Aksin Wijaya dialamatkan kepada para pembaca maupun umat Islam secara umum, masih cukup diragukan efektivitas keberhasilannya karena Aksin Wijaya terkesan memihak Islam Pluralis. Oleh karena itu, Aksin Wijaya seharusnya merumuskan konstruksi solusi secara konseptual-aplikatif yang relatif genuine, terlepas dari kesan memihak model kedua nalar gerakan keislaman tersebut. Namun tentu saja, solusi genuine itu membutuhkan perenungan dan pemikiran yang berat.

Betapapun demikian, Aksin Wijaya telah berbuat banyak dengan menulis karya ini. Dia telah menunjukkan sumber utama kekerasan beragama yang melanda dunia Islam. Semua sumber kekerasan ini berasal dari luar negeri, terutama dari Timur Tengah. Artinya, budaya kekerasan yang terjadi di Indonesia itu sesungguhnya merupakan budaya impor yang pasti bertentangan dengan karakter asli masyarakat Indonesia.

Oleh : Agfar Firdaus Gumilar, KPI 3/A

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023