Gladiator dDari Romawi hingga Indonesia


Oleh: Jesika Aleida

Kasus Gladiator yang terjadi satu tahun ke belakang kini muncul kembali ke permukaan. Duel gladiator atau tradisi bom-boman yang menewaskan Hilarius Christian Event Raharjo, seorang siswa SMA Budi Mulia Bogor pada tanggal 29 Januari 2016 masih meninggalkan luka yang mendalam pada hati keluarga korban, terutama ibunya. Hal ini dapat diketahui dari pengunggahan kasus kematian Hila oleh ibunya di akun Facebook pribadi milik ibunya yang ditujukan kepada Presiden Jokowi yang meminta agar kasus ini dapat ditegakan secara adil sehingga kasus kematian Hila menjadi viral di Facebook.

Kasus ini sempat mereda karena sudah diselesaikan secara kekeluargaan dan pihak keluarga korban tidak mau makam Hila dibongkar untuk melakukan autopsi sehingga pihak kepolisian kesulitan untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai kasus ini. Namun ternyata setelah satu tahun berlalu, kasus ini kembali mencuat. Pihak keluarga korban menginginkan dan kasus ini diusut secara tuntas oleh pihak yang berwajib. Sehingga akhirnya pihak yang berwajib mendapatkan izin untuk membongkar makam Hila guna melakukan autopsi agar kasus bisa diselesaikan hingga ke akar-akarnya. Ketika dibongkar ternyata masih ada bagian tubuh Hila yang masih utuh sehingga membantu penyelidikan. Ternyata memang benar, terbukti adanya bekas pukulan pada tubuh Hila.

Bila dilihat dari latar belakang sejarah, asal mula gladiator tidak diketahui secara pasti. Namun ada bukti mengenai pertarungan ini dalam ritus pemakaman selama Perang Punusia pada abad ke-3 SM dan setelah itu dengan cepat menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial politik di dunia Romawi. Gladiator sendiri adalah petarung bersenjata yang melakukan pertarungan untuk menghibur para penonton di Republik Romawi dan Kekaisaran Romawi. Beberapa gladiator merupakan sukarelawan. Sementara sebagian besar gladiator adalah seseorang yang direndahkan sebagai budak, dididik secara keras, terpinggirkan secara sosial, dan dipisahkan bahkan setelah mati. Dalam pertarungan tersebut, ketika bertarung bahkan sampai mati, mereka mendapatkan kekaguman dan pujian. Mereka digambarkan dalam seni kelas atas maupun kelas bawah sebagai penghibur yang dikenang dalam objek-objek berharga dan biasa di penjuru dunia Romawi.

Pertandingan gladiator yang terjadi di Bogor hampir sama dengan gladiator di dunia Romawi. Saat itu sebagian besar yang menjadi gladiator merupakan seseorang yang direndahkan dan yang terjadi di Bogor yang menjadi gladiator adalah siswa kelas X yang dianggap lebih rendah oleh kakak kelas dan alumni. Selain itu, pada pertarungan gladiator di dunia Romawi bertujuan untuk menghibur para penonton yang puncaknya ketika gladiator menjadi seorang petarung bahkan hingga mati, seorang gladiator akan mendapatkan kekaguman dan pujian. Begitupula yang terjadi di Bogor yaitu seorang gladiator mendapatkan ketenaran namanya dan sekolahnya ketika ia berani bertarung untuk melawan gladiator dari sekolah lain. Namun ada sedikit perbedaan dalam pemakaian alat untuk melakukan pertarungan. Pada dunia Romawi, mereka menggunakan pedang sementara yang terjadi di Bogor yaitu menggunakan tangan kosong.

Sebenarnya pertarungan seperti ini bukan hanya terjadi di Bogor pada tahun 2016. Dari cerita teman-teman Hila, bom-boman itu sudah ada sejak tahun 2010 bahkan dijadikan sebagai tradisi dalam menghadapi event besar yaitu kompetisi liga bola basket (DBL) antar pelajar yang dimotori oleh para seniornya. Selain di Bogor, tradisi mengerikan seperti ini pernah terjadi juga di Jakarta pada tahun 2009 di kalangan siswa SMA di Jakarta. Itu hanya kasus yang tercium oleh media, bisa jadi di bagian wilayah Indonesia lainnya kasus serupa juga terjadi namun awak media dan pihak yang berwajib tertutup matanya dengan hal seperti ini. Sayangnya, kasus seperti ini baru terdeteksi setelah adanya korban yang meninggal dunia.

Untuk mencegah terulangnya kembali kasus seperti ini, langkah pertama yang harus dilakukan yaitu adanya pengawasan orangtua yang sangat ketat tapi tidak mengekang kepada anaknya. Orangtua juga harus menanamkan nilai moral kepada anaknya dan memberikan penjelasan bahwa kekerasan seperti berkelahi itu bukanlah sesuatu yang baik dan tidak layak untuk ditiru. Ketika anak berbuat suatu kesalahan, baiknya orangtua memberi peringatan dengan cara tidak menggunakan pukulan karena orangtua tidak tahu dampak apa yang akan terjadi ketika orangtua terbiasa memberitahu kesalahan anak dengan menggunakan pukulan. Bisa jadi di luar rumah, ia melakukan hal tersebut kepada temannya atau orang di sekitarnya. Orangtua juga harus mengenal dengan siapa anaknya berteman karena lingkungan sangat mempengaruhi mental dan emosi seseorang. Apalagi ketika seorang anak menginjak usia remaja yang pada umumnya saat usia remaja itulah anak-anak mencari jatidirinya dan ingin mendapatkan pujian dari lingkungan sekitar. Bisa juga menyalurkan anak-anak kepada berbagai hal atau kegiatan yang positif.

Selain itu, jika melihat adanya kekerasan yang terjadi di sekitar kita, kita harus segera melaporkan kepada pihak yang berwajib karena pihak yang berwajib memiliki wewenang untuk menyelesaikan suatu kasus sampai tuntas. Pihak yang berwajib juga harus segera menindaklanjuti kasus yang dilaporkan kepadanya. Jika sudah menindaklanjuti, pihak yang berwajib hendaknya memberikan sanksi yang sangat tegas kepada para pelaku agar para pelaku jera dan tidak lahir lagi pelaku lainnya yang berbuat hal serupa. Dalam menangani sebuah kasus, perlu adanya kepedulian dari semua pihak agar sebuah kasus tidak terulang.
Penulis, mahasiswa KPI UIN Bandung.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023