Cerpen: Teman Lama


Di sudut komplek, sebuah masjid berwarna hijau berdiri kokoh dengan orang - orang yang keluar dari pintu-pintunya. Shalat Ashar sudah selesai dilaksanakan beberapa menit lalu. Satu - persatu anak - anak mulai memasuki masjid, menaruh tas-tas kecil mereka, kemudian bersenda gurau, berlarian di dala masjid. Sebagian anak duduk bersandar sambil membaca buku Iqra' sambil sesekali mendapat gangguan juga bantuan dari temannya.

Seorang lelaki menuruni tangga di belakang bangunan masjid dengan menggenggam sebuah spidol di tangan kanan dan beberapa buku di tangan kirinya. Lelaki itu menuju tempat wudhu untuk membasuh beberapa anggota tubuhnya kemudia berjalan memasuki masjid. Sampai di pintu, anak - anak berlarian menghampirinya untuk sekadar mencium tangan atau mengiringinya untuk sampai di tempat duduknya.
Anak-anak itu mulai duduk berjejer dengan rapi ketika mengetahui guru mereka sudah siap memulai pelajaran. Bacaan doa sebelum belajar mulai menggema di ruangan masjid karena semangat anak - anak ketika membacanya. Setelah itu, bacaan huruf - huruf hijaiyah mulai terdengar. Beberapa terdengar lancar meskipun sebagian terbata - bata. Lelaki itu mengamati dengan seksama dan dengan telatennya membetulkan jika ada kekeliruan dalam bacaan.

Suasana belajar-mengajar berlangsung seperti itu sampai seorang gadis berjilbab biru langit datang memasuki masjid. Berucap salam sambil tersenyum kaku, kemudian duduk di seberang tempat belajar anak - anak.
***
"Maaf menunggu lama." Lelaki itu menghampiri gadis yang tengah mengamati anak-anak yang berlarian keluar meninggalkan masjid.

"Tidak apa - apa. Bisa langsung kita mulai sekarang?" ujar gadis itu sambil membuka halaman buku catatan yang dipegangnya.

Lelaki itu mengiyakan kemudian membetulkan tempat duduk agar tidak terlalu dekat dengan gadis tersebut.

"Jadi, bagaimana awal mula kamu bisa tinggal di sini?" Gadis itu membuka pembicaraan.

"Aku adalah mahasiswa perantauan yang tentunya membutuhkan tempat tinggal. Sebelum tinggal di masjid ini, kusewa rumah kontrakan di daerah dekat kampus. Setelah tinggal selama tiga bulan, temanku mengajak untuk tinggal di masjid dan tentu saja aku menerima tawaran tersebut," jelas lelaki bernama Hamid tersebut.

"Kamu juga mengajar anak - anak, bukan? Bagaimana pengalamaanmu saat mengajar anak-anak?"

"Bisa berbagi ilmu dengan anak - anak itu sangat menyenangkan. Setelah seharian berjibaku dengan kepenatan di kampus, berinteraksi dengan anak-anak bisa menjadi alternatif untuk menyegarkan kembali pikiran,"

Hamid berhenti sejenak kemudian melanjutkan perkataannya, "memang tidak mudah mendidik anak - anak yang memiliki berbagai macam karekter. Beberapa anak memang penurut, tapi tidak sedikit yang bisa dikatakan bandel." Lelaki itu terkekeh.

"Bagaimana dengan bersikap tegas pada mereka?" tanya gadis itu penasaran.

"Sikap tegas memang diperlukan, tapi aku bukan orang yang bisa dengan mudahnya memarahi anak - anak apalagi melakukan tindakan fisik untuk mendisiplinkan. Mereka itu sosok yang polos. Sekali saja kamu mengoresnya, bekasnya akan tertinggal sampai mereka dewasa."

"Woa, kamu terlihat seperti sudah siap memiliki anak saja," gurau gadis itu. Keduanya tertawa.

Obrolan terus berlanjut hingga tanpa terasa matahari perlahan mulai kembali ke peraduannya. Ta'mir masjid yang lain mulai mempersiapkan untuk adzan Maghrib.

"Kita lanjutkan perbincangan menarik ini lain waktu." Gadis itu membereskan catatannya ke dalam tas.

"Ya, senang bisa berbagi pengalama denganmu."

Keduanya kemudian bergantian mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat.
***

Sudah beberapa hari berlalu sejak perbincangan Hamid dengan gadis itu. Aktivitas di masjid berjalan seperti biasa. Anak-anak yang mengeja huruf - huruf hijaiyah, orang-orang yang melaksanakan shalat berjama'ah, serta suasana komplek yang sepi pada siang hari menandakan masyarakatnya adalah pekerja keras.

Tidak ada yang berbeda, kecuali gadis yang tidak datang lagi setelah janji "lain waktu"-nya untuk melanjutkan obrolan menarik.

Matahari sudah benar-benar tenggelam berganti bulan yang tampak seperti siluet senyuman dengan sudut runcing dan jama'ah shalat maghrib sudah membubarkan diri ke rumahnya masing-masing.

Dari ujung jalan, gadis berjilbab ungu dengan menenteng sebuah kantong berukuran sedang berjalan tergesa – gesa. Ketika sampai di pintu masjid, ia menghampiri lelaki yang duduk di dekat jendela masjid.

"Assalamu'alaikum." Gadis itu mengucap salam dan langsung mengambil tempat duduk.

"Wa'alaikumsalam. Kamu tahu, kedatanganmu itu seperti hantu, setelah beberapa hari tidak terlihat, lalu sekarang tiba – tiba dengan tegesa – gesa. Apa hobimu itu datang dan pergi sesuka hati?" Sindir lelaki itu sambil menyodorkan kotak tisu.

"Ada beberapa keperluan yang harus kuurus. Terima kasih," ujar si gadis sambil mengambil mengelap keringatnya yang ada di kening.

"Oh, ya, ini untukmu," lanjutnya dengan menyodorkan jinjingan yang dia bawa.

"Apa ini semacam sogokan?" Hamid menatap sangsi kantong kecil di depannya.

"Ini bentuk ucapan terima kasihku." Gadis itu berusaha meluruskan.

"Untuk?"

"Informasi yang sudah kamu berikan." Keduanya terkekeh.

"Apa lagi yang ingin kamu tanyakan?" Rupanya lelaki itu sudah tahu maksud kedatangan si gadis.

"Ini yang terakhir. Apa yang membuatmu betah menjadi pengurus masjid ini, padahal beban sebagai mahasiswa itu cukup berat apalagi dengan tugas yang tidak sedikit?" Gadis itu membolak – balik lembaran buku catatannya.

"Tugas kuliah memang tidak sedikit. Masjid ini sudah kuanggap sebagai tempat tinggalku sendiri, jadi mau tidak mau aku harus bertanggung jawab untuk menjaga dan mengurus tempat tinggalku," ujar Hamid.

"Bagiku sendiri, ibadah itu tidak terbatas. Jika menuntut ilmu adalah ibadah, maka mengurus masjid pun juga ibadah," lanjutnya.

"Apa kamu benar – benar akan menghabiskan masa mudamu di sini?"

"Tidak ada salahnya, kan, memanfaatkan waktu muda untuk beribadah dan memberi manfaat kepada orang banyak. Bukankah khoirunnas 'an fa-uhum linnas? Sebaik – baik manusia adalah yang memberi manfaat untuk manusia lain" lelaki itu malah menjawab dengan pertanyaan retorik.

"Meskipun melelahkan, tapi selama kita memiliki kesempatan sebaiknya kita mengambil kesempatan itu karena arrohatu fil Jannah, istirahat itu waktunya di surga," tambahnya.

"Sepetinya kamu yang lebih cocok menjadi pendakwah. Kupikir, setelah lulus, kamu akan banyak memberikan khutbah – khutbah di banyak masjid besar." Celetukan gadis itu membuat Hamid lagi – lagi dibuat terkekeh geli.

Percakapan selalu berjalan tanpa memandang waktu. Selalu tanpa terasa waktu berlalu ketika mereka membincangkan hal – hal yang sifatnya penting sampai yang tidak penting.

"Aku harus pulang. Sekali lagi terima kasih banyak. Kamu sangat membantuku dalam menyelesaikan tugas ini. Mungkin jika ada lain waktu yang tepat, kita bisa berjumpa lagi dan membicarakan banyak hal."

Obrolan mereka terhenti. Gadis itu membereskan catatannya dan bergegas meninggalkan masjid.
***

Tidak ada yang menyangka, celetukan gadis itu tentang menjadi pendakwah adalah obrolan terakhir lelaki dan gadis itu. Tidak ada komunikasi selanjutnya.

Masih terbayang perbincangan mereka lima tahun lalu. Tentang riuh oleh senda gurau anak – anak di masjid ini, tentang pertanyaan – pertanyaan si gadis, tentang jawaban – jawaban bijak lelaki itu, dan tentang – tentang lainnya yang berhubungan dengan interaksi mereka.

Setelah selesai menyampaikan ceramah berkenaan dengan Maulid Nabi Muhammad, aku menuruni tangga mimbar untuk menghampiri ketua dewan kemakmuran masjid. Kami berbincang – bincang sampai seorang pemuda yang usianya kira – kira lima tahun lebih muda dariku menghampiri kami.

"Ustadz, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda. Dari kawan lama, katanya. Beliau menunggu di depan masjid," ujar lelaki itu sopan.

"Baiklah. Terima kasih."

Aku berpamitan pada ketua DKM dan menuju depan masjid untuk menemui seorang –yang katanya– teman lama.

Kulihat seorang gadis berjilbab merah muda sedang duduk dengan anggun di kursi depan masjid.

"Permisi, apa anda yang ingin bertemu dengan saya?" aku menyapanya.

"Hamid, bagaimana kabarmu? Tidak kusangka, tenyata kamu benar – benar menjadi seorang pendakwah. Sudah berapa banyak masjid besar yang kamu beri khutbah?" ujar gadis itu antusias.

Aku terterkejut dengan respon gadis itu. Membuatku terpaku dan hanya ada satu hal yang terlintas di benakku.

"Ternyata gadis ini yang tiba – tiba menghilang tidak kembali lagi ke masjid setelah lima tahun berlalu. Ternyata gadis ini, seorang teman lama..."

Selesai

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023