Cerpen: Takbir dari Sebuah Sepatu



Hari sudah semakin gelap, pengajian telah usai, jamaahpun telah meninggalkan masjid dan ini saatnya aku melakukan wawancara terhadap Bapa DKM masjid yaitu Bapak Juanda. Wajahnya tidak seperti biasanya. Tanpa menunggu lama aku langsung menghampiri bapak itu. Kemudian aku menjelaskan pertanyaan yang akan aku ajukan padanya.

Ia bercerita banyak hari itu, ia mengatakan bahwa ia merasa sedih dengan jamaah masjidnya. Semakin hari semakin sedikit, mungkin Karena faktor usia dari jamaah masjid. Tapi meski ia hari itu terlihat tak bersemangat dalam mengajarkan mengaji terhadap jamaah, tak ada niatan dirinya untuk mundur dalam jalan dakwah ini. Ia tetap semangat dalam mengajar anak-anak mengaji, ibu-ibu mengaji ataupun pengajian semua usia. Setelah bercerita banyak, ia kemudian tersenyum padaku.

Bapak tua itu mengatakan, ibu yang tadi bertanya padaku adalah istrinya dan satu anak perempuan yang hadir di masjid itu adalah anaknya. Banyak pelajaran yang dapat aku ambil dari pembicaraan antara aku dengan bapa tua itu. Ceritanya menggugah jiwa dan membuat aku terharu, satu keluarga ada di dalam pengajian tersebut, semangat dakwah tidak hilang pada diri mereka. masyaAllah.

Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 09.00 WIB, dan aku harus pulang. Saat aku membuka HP, ternyata ibu sudah menelpon lebih dari dua kali, langsung saja aku pamit pulang dan bapak tua itu mengantarku sampai ke depan pintu masjid. Saat ku coba melirik ke arah sepatuku, aku tak menemukan sepatuku ada di tempatnya. Aku mulai cemas dan panik.

"Bapak, sepatu Hani hilang" kataku pada bapak tua itu dengan ekspresi yang mengharukan.

"Tadi disimpan di mana?" kata bapak tua itu menenangkan.

"Di sini pak" kataku sambil menunjuk ke arah di mana sepatuku di letakan.

Bapak tua itu langsung mencarikan sepatuku. Hari sudah malam aku bingung, bagaimana aku bisa pulang ke rumah. Apa aku pulang tanpa mengenakan alas kaki. Malang nian nasibku hari itu. Bapak tua itu terus saja mencarikan namun sepatu yang sering ku sebut sepatu Cinderella tak ditemukannya. Aku sudah pasrah. Mungkin sepatu itu tak akan pernah ketemu lagi dan hilang selamanya. Aku meminjam sandal jepit milik bapak DKM. Pekerjaan menjadi wartawan memang tak mudah butuh perjuangan dan kerja keras.

Aku pulang dengan muka sedihku. Entahlah rasanya aku ingin menangis di jalanan saat itu. Pulang ke rumah dengan mengenakan sandal jepit milik orang lain dan harus naik angkutan umum. Kesal rasanya, saat itu aku merasa ingin menyerah saja. Tapi tiba-tiba ada motor yang berhenti tepat di depanku ternyata itu Dinar.

"Untuk apa kamu disini?" kataku kesal.

"Cepatlah naik, aku tau sepatu kamu hilang" katanya lembut.

"Aku mau pulang" kataku padanya.

"Aku antar, cepat naik" jawabnya lagi.

Langsung saja ku naiki motornya, tanpa bicara sepatah katapun padanya. Bagiku saat itu Dinar adalah pangeranku. Meskipun dia bukanlah pangeran yang membawa sepatu untuk Cinderella, tapi dia pangeran yang menyelamatkan aku dari kehilangan sepatu Cinderella miliku.

Mungkin aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan sepatu Cinderella ku lagi. Tak apa, aku sudah mengikhlaskannya. Sepatu itu aku kenakan ketika aku melakukan liputan dengan tujuan dakwah. Semoga dia yang hilang menjadi infaq dalam jihadku.

Oleh : Hani Solehatunnisa. KPI/3/B

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023