GEMINTANG



Cerpen oleh: M. Sabilulhaq Mardhatillah

Malam itu, Andini berdiri di depan jamaah setelah penampilan anggunnya, raut wajahnya seolah terpaut kerinduan mendalam pada keindahan yang mungkin akan ditemuinya kelak: Dia yang Maha. Suara merdunya menggema di pelataran masjid, alif... lam... mim..., bunyi huruf yang ia lontarkan terdengar jelas dan berakar tajwid-tahsin. Membuat dadaku bergetar tanpa komando.

Mungkin ini yang dimaksud dalam kalimat suci itu, kalimat yang berbunyikan keimanan akan membuat getar pada hati manusia yang diperdengarkan rasa ketauhidan. Ya, mungkin saja!?

"Indah..." kesan tertarikku ketika mendengarnya untuk pertama kali. Aku merasa, jika ini waktunya untuk mengerjakan tugas media, mungkin akan sangat cocok jika kusandingkan dengan prilaku seorang wartawan yang harus ditanamkan dalam dirinya, "mencari kebenaran". Dan satu-satunya kebenaran yang ingin kutahu darinya ialah: "Benarkah dia tetap sendiri?"

Tiga malam berturut-turut, perasaanku masih saja seperti ini. Demikian pula tindakanku, hanya diam dan menikmati lantunan ayat yang ia baca. Cemas. Sesekali sebelum naik ke atas mimbar untuk membacakan ayat suci Al-Qur'an, ia melirikku sekilas. Tidak banyak kejadian fisik yang terjadi. Batinku seolah berikrar dengan nada yang jauh-jauh dari sifat kejenuhan, "Aku adalah hati, saat ini ada pesta dalam diriku."

Gila? Tidak!

Aku jatuh cinta dengan cara yang tepat, meski belum sempat berempat mata dengannya. Tidak, bahkan berniat pun belum. Mungkin esok, lusa..., atau takkan pernah.

Lagi-lagi suara merdunya menggema di atas telingaku, nada itu seolah memaksa masuk, langsung ke otak kananku yang tengah tertidur. Kembali lagi perasaanku menukik tajam. Senyum hangatnya menelusup dari puing-puing dinginnya udara malam. Tik... tik... tik..., entahlah, suara sekecil dentik jam tanganku mendadak bergema. Batinku.

Wajah awan sudah menepis, gemuruh yang sedari tadi mengisyaratkan hujan telah menghilang. Bahkan seolah terhapus, ia benderang, sampai bintang-bintang dalam gurauan Tuhan kembali lagi menyapa senyumnya. Andai..., aku berandai-andai dalam kecemasan. Rona wajah yang tersirat darinya membuatku cemas akan arah pandang yang tak jelas. Seorang lelaki di ujung serban menyambutnya dengan senyuman.

Hendak menuruni tangga, lelaki itu menghampirinya seraya berujar dalam kegirangan, sunyi dan tenang. Aku tak mendengarnya sedikit pun, hanya saja, yang kuketahui hanya satu.
Aku cemburu.

***
Kembali kulihat para gemintang. Mengingatkanku pada sebuah novel karya Habiburrahman El-Shirazy. Ketika para santri meniatkan hati untuk terjun dalam satu kalimat yang indah: Fastabiqul Khairat. Ya. Gemintang yang kumaksud bukanlah benda langit yang kerap tertutup keindahannya oleh awan. Namun merekalah para pejuang Al-Qur'an yang tengah berunjuk kebolehan dalam tajwid, tahsin, tarjim dan tahfidz.

***
Aku tertunduk dalam kesunyian, sembari ujung komentar menggemakan rasa bangga. Seorang MC berdiri dengan senyuman, nadanya tertahan dalam perhentian napas sebelum akhirnya membuka dengan salam.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh..." tukas salah seorang MC. Seolah menularkan semangat, jamaah yang hadir pun serentak menjawab salamnya. "Ya..., hari ini kita harus bangga, para pejuang Qur'an sudah bisa menularkan senyuman mereka pada kita. haha... Berarti sekarang, semua sudah siap ya!?" sambung MC itu kemudian.

"Bagaimana? Jadi kita bacain langsung aja kali ya..." ujar MC yang satunya lagi. Seluruh ruangan seketika bergemuruh. Sebentar lagi akan dibacakan pemenang dari masing-masing lomba, membuat detak jantungku bergetar lebih cepat.

Ya, aku adalah salah satu dari mereka, Para Bintang yang dalam hatinya terpaut kerinduan mendalam. Aku ingat saat seisi ruangan diam mendengar bacaan Qur'an-ku. Sedikitnya aku menyimpan bangga, namun masih saja seperti tak terkendali, aku masih cemas. Kemudian kulirik saingan terberatku Andini. Wajah meronanya menggambarkan mental yang kokoh, bahwa dia seorang pemenang sejati.

Aku sudah dua kali kalah darinya, penampilan-penampilannya selalu saja luar biasa. Mentalku semakin ciut saat salah seorang juri menampakkan raut terpukau pada tiap penampilannya. Aku cemburu. Jelas, dia benar-benar luar biasa.

"JUARA TIGA... DIRAIH OLEH...."

"DIRAIH OLEH...."

Tibalalah saat yang ditunggu-tunggu, pembacaan gelar juara mulai terasa hawa kerasnya. Aku terdiam bukan mengamati, keringat dinginku bercucuran dari pori-pori dahiku. Tak fokus, tentu saja rasanya aneh, yang kurasakan bukanlah takut kalah, namun berharap supaya yang disebutkan MC sebagai juara ketiga adalah Andini. Entahlah, aku tak mau kalah darinya, atau mungkin tak ingin melihatnya menang. Sebagai saingan ketat yang selalu akrab, kurasa kehendakku terlalu berlebihan.

"AN...." Satu suara membuatku terkejut, ada kegetiran yang terasa menyenangkan. "ANDRA...." teriaknya melengkapi.
Yah... ternyata bukan, kekecewaan menghinggapi benak terdalamku.

"JUARA DUA... DIRAIH OLEH...."

"DIRAIH OLEH..."

"NAILAAA..."

Glek... Aku salah mengharapkan sesuatu. Aku mengharapkan kekalahan pada orang lain tanpa memikirkan diriku sendiri. Ah, rasanya berdosa sekali. Biasanya aku berada pada tahta yang saat ini diterima Naila, juara kedua. Cemas, jika Andini saja mendapat apresiasi begitu baik, sedang tahta ketiga dan kedua sudah dimenangkan orang lain, maka tak ada harapan lagi. Andinilah juara pertamanya.

Aku 'tlah salah mengharapkan sesuatu. Dan benar saja, sahut kegirangan menggema dari seluruh titik berkumpulnya jamaah yang menonton. Ruangan utama sampai beranda masjid penuh oleh penonton. Sudah dipastikan Andini-lah juara pertama, dan aku hanya diletakkan pada tahta biasa sebagai pemenang harapan.

Ya. Mungkin memang ini yang seharusnya terjadi, kecemburuanku tidak berdasar pada hal yang benar. Namun tentu, inilah awal yang benar. Ini bukan kekalahan, jangan juga ada penyesalan. Satu... dua... tiga..., seharusnya angka ini bukanlah masalah besar bagiku. Dan memang tidak boleh menjadi masalah.

Aku pun sadar akan sesuatu, pertanyaan yang kerap terngiang dalam kepalaku mengenai dia yang tetap sendiri terjawab sudah. Ia telah mengatakannya dalam tindakan, dalam lantunan mesra ayat-ayat Al-Qur'an. Ya, dia masih sendiri, sendiri dan tetap menduduki tahta pertama sendiri.

Kini aku paham. Aku jatuh cinta dengan cara yang tepat; mencintai jati diri yang
tepat; kitab suci yang tepat.

Dia... Azza wa jalla.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023