Antara Aku, Kakek, dan Masjid





Cerpen oleh: Megandini Al-Fiqri

Suara jangkrik, kodok, dan puji-pujian di Masjid kian bersautan. Waktu menunjukan pukul 2.30, nenekku sudah bangun tahajud, kemudian pergi ke dapur  seraya menyalakan api di hawu. Aku sendiri kembali membenahi tidurku agar tertutup rapat selimut. Kami tinggal berdua di sebuah gubuk dekat pesawahan desa Cijengkol.

"Den, Bangun! Ngaji! Ayo cuci muka! Cepat pergi ke Masjid!" aku terbangun dari tidurku. Nenekku memang seperti itu, ia selalu membangunkan ku 2 jam sebelum adzan berkumandang. Terkadang, aku kesal, mengapa beliau menyuruhku pergi ke Masjid sepagi itu. Padahal, mataku masih mengantuk, badanku pun menempel rapat di kasur, lagipula di Masjid tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanyalah Kakek Tua penunggu Masjid yang sedang komat-kamit wiridan.

Aku buru-buru pergi ke Masjid, tidurpun takkan nyenak. Nenekku akan terus mengoceh hingga aku bangun dan pergi ke masjid. Tak lupa kucium punggung tangan Nenekku yang sudah keriput. "Umi, Nden berangkat dulu yah," ucapku pada nenek.

Sesampainya disana, seperti biasa aku duduk diteras masjid sambil mengamati sekeliling bangunan masjid yang kokoh dan klasik. Namun, seketika pandanganku terpaku kearah kakek tua yang duduk didekat mimbar. Seperti biasa ia duduk menghadap utara, tasbihnya terus diputar-putar oleh jemarinya, matanya begitu sayu, badannya sudah tak sekuat dulu lagi. Namun, senyuman yang tersungging dari bibirnya memiliki ketentraman tersendiri bagi yang melihatnya.

Tak kusangka, kakek tua itu melambaikan tangannya ke arahku. Aku menoleh ke kanan dan kekiri, tidak ada siapa-siapa disana kecuali diriku. Akupun menghampirinya. "ada yang bisa saya bantu kek?" kakek tua itu tidak mengatakan apapun, ia hanya menunjukan tangannya pada karpet masjid, ia memberi isyarat kepadaku agar duduk didekatnya.

Kakek itu mulai membuka mulutnya dan berkata kepadaku "Muka bumi ini semuanya dihamparkan oleh Allah sebagai masjid, tempat yang kamu duduki sekarang hanya fasilitas manusia untuk bersujud. Sayangnya, tidak banyak orang yang senang mengunjungi tempat ini. Mereka hanya menganggap Allah sebagai pelayan mereka, padahal mereka sendiri adalah Hamba-Nya. Datang saat memiliki permintaan, tapi lupa mensyukuri saat diberi. Kakek, nitip masjid ini ya. Kamu gantikan Abah Shalawat disini,"ucapnya. Kemudian kakek itu menyodorkan mic yang menyala kearahku. Aku hanya dapat menganggukan kepala mengamini permintaan kakek itu. Dengan ragu-ragu mulai kuambil mic itu dan bershalawat. Awalnya aku canggung, namun lama kelamaan aku nyaman bersenandung  shalawat disana. Aku menoleh kebelakang, aku kaget kakek tua yang tadi aku lihat sudah tidak ada.

Tak lama kemudian, tiba-tiba Pak Parman ketua RT desa Cijengkol, masuk masjid dengan tergesa-gesa. Akupun mematikan mic dan duduk menjauh dipojok ruangan.

"INNALILLAHI…WA INNA ILAIHI ROOJIUN 3*

TELAH PULANG KE RAHMATULLAH ABAH SUMA BIN MALIK PUKUL 02.30 DI RUMAH SAKIT SYAMSUDIN.

BAGI WARGA YANG HENDAK MELAYAT DIHARAP SEGERA MERAPAT KE RUMAH DUKA".

Kakiku seketika lemas, lututku tak dapat digerakan, bulu kudukku  merinding, keringat dingin keluar dari dahiku, aku masih bingung dan tak percaya. Abah Suma, Marbot sekaligus sesepuh masjid ini meninggal, padahal Beberapa menit yang lalu Abah Suma ada di Masjid ini dan sempat mengobrol denganku. Jika Abah Suma meninggal di Rumah sakit, lalu siapa orang yang ada di masjid tadi? Aku tak dapat bercerita kejadian ini pada siapapun termasuk kedua orang tua & nenekku.

Bendera kuning masih berkibar di depan rumah Abah Suma, aku pergi melayat kesana bersama tetangga dan sanak saudara. Mayat Almarhum masih terbujur kaku ditengah rumahnya, dibalut kain putih nan bersih, isak tangis keluarga, dan lantunan ayat suci alqur'an menyatu dalam irama sendu. Kubuka sedikit kain kafan itu, Abah Suma masih tersenyum. "Subhanallah,"ucapku dalam hati. Semasa hidupnya kegiatan beliau memang tak pernah keluar dari lingkungan masjid. Meskipun rumahnya kecil, tapi pelayat yang berdatangan sangat banyak. Ah, bagaimana tidak, semasa hidupnya beliau selalu membantu & meringankan beban orang lain.

Diantara isak tangis duka, terdengar bisik-bisik tetangga yang menyayangkan kepergian beliau "hiks… hiks... hiks, kenapa orang sebaik beliau harus dipanggil duluan Ya Allah. Mungkin Allah sangat merindukannya" ucap salah satu warga disana. "Beliau itu orang yang paling aneh, seluruh uang yang ia miliki ia sumbangkan untuk masjid ini, sedangkan Ia tinggal dirumah kecil seperti ini," tambah yang lain. "Padahal punya kerjaan bagus di kantor pemerintahan, malah pensiun dan jadi marbot masjid walaupun begitu beliau selalu tersenyum dan ramah pada semua orang," sambung yang lain. Pikiranku mengawang-ngawang mengingat perjumpaanku dengan Abah di Masjid.

Sejak hari itu, setiap qobla shubuh aku selalu membacakan lantunan ayat suci Al-Qur'an disana. Tak lupa kupanjatkan doa untuk kakek Suma Marbot Masjid ini. Tak hanya itu, hampir separuh waktuku kuhabiskan di Masjid. ketika terbitnya fajar, hingga terbit matahari pagi aku ada di masjid.  Entah membaca shalawat, Shalat Tahajud, bersih-bersih atau hanya sekedar melamun di serambi masjid. Siangnya aku membantu ibu-ibu mencuci piring atau sekedar menyiapkan camilan untuk ibu-ibu pengajian, Sorenya aku pun sudah standby mengajar anak kecil mengaji di masjid hingga Isya.

Seluruh waktuku ku abdikan disini. Bukan karena wasiat Abah Suma, bukan pula karena rasa takutku akan kematiannya, akan tetapi karena rasa nyaman yang tercipta didalam masjid dan keinginan dari lubuk hati yang terdalam untuk selalu kembali ke rumah Tuhan.

Penulis, Mahasiswa KPI UIN Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beri komentar secara sopan

© Vokaloka 2023